Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nyawa Tuti "Ruh", Bukan Notifikasi

2 November 2018   09:24 Diperbarui: 2 November 2018   18:20 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seingat saya ada saksi di saat saya menyampaikan kalimat itu. Sayangnya dua saksi itu sudah berpulang keduanya. Pertama Alm., Kyai H. Hasyim Muzadi, dan kedua pemimpin rombongan Umrah kami, Alm., Prof DR. Faisal Mahmud, sebaya saya usianya.

Kala itu Pak Jokowi Tanya balik ke saya, "Kalau dihentikan dari mana pengganti devisa pengiriman TKW?"

Jawab saya: Benahi pengadilan pajak. Jika perlu bentuk badan penyidik pajak. Karena setiap tahun menurut data OECD, laku penggelapan pajak pola transfer pricing setiap tahunnya terindikasi 65% dari transaksi perdagangan.

Saya katakan pula, pada 2005 saya verifikasi, indikasi transfer pricing dalam setahun sudah Rp 1.300 triliun. Bayangkan angka 2017? Setiap tahun naik. Bila 30% saja setiap tahun dapat dibuktikan penggelapan pajak korporat dan bisa ditarik kembali oleh negara? Tentulah berlipat-lipat dari devisa dari TKW,TKI, pada 2008, hanya Rp 70- triliun.

Saya tak paham mengapa transfer pricing tak diurus, demi dapat membuat kebijakan pengganti devisa menghentikan pengiriman TKW dapat dilakukan?

Citra negara, perempuan kita di Arab Saudi, di Emirat dan jazirah Arab lainnya: negeri babu gampang digauli. Kalimat kasar ini saya dapati di restoran Indonesia di Abu Dhabi,2009 awal, di mana saya menemukan, mohon maaf, ada beberapa wanita asal negeri kita memang seakan "jualan".

Dalam advokasi terhadap para TKW hendak dihukum mati itu, kita kalah kencang dengan advokasi di-ban-nya CPO kita di Eropa tahun lalu. Untuk CPO, presiden turun tangan, beberapa NGO meng-advokasi, seminar dan kegiatan KBRI kencang agar ekspor CPO kita lancar-jaya. Padahal pelaku utama transfer pricing kakap terindikasi menahun-nahun, ya, di antaranya korporasi besar eksportir CPO, belum lagi tambahan subsidi puluhan triliun untuk mereka bagi membuat solar.

Demokrasi di negeri kita setelah reformasi ini, demokrasi menjadi industri,bukan demokrasi menjadi idiologi, laksana di negara demokrasi benaran. Meng-advokasi sawit - - korporasinya terindikasi tambun menggelapkan pajak- - lebih gede gaung dan minatnya daripada meng-advokasi satu, dua, tiga, empat, TKW hendak dihukum mati. 

CPO dan angka ekspor, dolarnya, memang tampak. Hasilnya lebih lahiriah. Nyawa ranah intangible. Membela nyawa, ruh, ranah Illahiah, mungkin belum kita rasakan imbalannya, karena tak ada yang kembali dari alam kematian menuliskan. 

Ajal di tangan Tuhan. 

Memperjuangkan, menyelamatkan nyawa, melindungi tumpah darah, juga amanat undang-undang bernegara. Lebih jauh amanat ke lubuk sanubari kita --bila diberi amanah menjadi pemimpin -- sebagai insan, menyadari keberadaan memuliakan keinsanan, membangun peradaban. Dalam khasanah ini saya tentu tak ingin mengkritik siapapun, saya hanya ingin mengatai diri saya sendiri: hanya bisa menulis-nulis, berkata-kata sahaja. Tok!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun