Belum pernah diperlakukan tak nyaman di bandara negeri lain, saya meyakini Anda belum menjiwai perasaan Ustad Abdul Somad dideportasi dari Hongkong kemarin. Sedianya, hari ini Minggu, 24 Desember 2017 ia mengisi pengajian di sana.
Saya di Singapura, pada awal 2009, pernah diinterogasi di Changi, Singapura. Tak paham awal pasal maka ketika menyimak dilayar komputer mereka, tiga nama saya muncul. Ada Narliswandi Piliang, Narliswandi dan Iwan Piliang. Saya menduga kala itu ihwal penulisan nama itu musibah. Ternyata bukan.
Dari dialog dengan petugas bandara dan adanya polisi mendampingi, saya menjadi mafhum hal itu berkait ke aktifitas sosial saya memverifikasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya, anak pintar WNI, di Kampusnya di NTU, Singapura. Kala itu hampir semua persidangan koronernya saya ikuti. Reportase liputan persidangan dan verifikasi kasus itu saya tulis di blog termasuk di Kompasiana. Kejadian di Changi itu tak membuat saya dideportasi, laksana Ustad Somad dipulangkan otoritas Bandara Hongkong saat itu juga. Saya kala itu seakan "tertolong" di jaket saya ada kartu nama Rumah Produksi Animasi kami di Bali. Saya berdiplomasi mau menyimak pameran Toys terbesar kala itu sedang berlangsung di Singapura. Maka atas dasar ingin melihat pameran itu, petugas "melepas" saya masuk ke negaranya.
Ustad Somad diundang komunitas warga kita di Hongkong memberi ceramah agama, tausiah, persembahan lisan kemuliaan agama Islam. Ustad Somad tentu tak bergaya saya, data versi petugas sana sudah di tangan bandara Hongkong. Di media sebagaimana sudah beredar dapat disimak.
Ustad terkenal lewat penyampaian kajian ilmu fiqihnya itu, tiba di Bandara Hongkong sekitar pukul pukul 15:00 WIB. Ulama asal Pekanbaru itu ke luar menuju pintu pesawat, ia langaung dihadang petugas.
"Begitu sampai, ada beberapa orang menunggu keluar dari pintu pesawat, saya dipisah," ujarnya.
Setelah dipisah dengan rombongannya, Ustad Somad dibawa ke dalam sebuah ruangan di dalam bandara tersebut. Di dalam ruangan, petugas mengintrogasi Abdul Somad dengan banyak pertanyaan dan menggeledah barang-barang dirinya.
"Diminta agar buka dompet, semua diperiksa, kartu-kartu dan mereka cek semua surat-surat, kemudian dia liat HP liat nomer-nomer kontak," ujar Abdul Somad.
Dalam penggeledahan tersebut petugas bandara juga sempat mencurigai keterlibatan Abdul Somad di sebuah ormas. Namun hal itu dia bantah langsung.
Penceramah ini menjelaskan bahwa dirinya tidak ada keterkaitan apapun dengan politik maupun ormas.
"Saya bilang saya seorang dosen, kemudian saya sebutkan satu-satu universitas tempat saya mengajar," ujarnya.
Penggeledahan terhadap Abdul Somad terjadi kurang lebih selama sampai 45 menit. Setelah penggeledahan usai, petugas tersebut langsung mengantar kembali Ustad Somad ke dalam pesawat ditumpanginya saat datang ke Hongkong.
Ustad Somad pun diminta kembali ke Indonesia tanpa alasan jelas. "Saya tanya kenapa? Dia bilang kita belum bisa memberi izin untuk masuk tanpa menyebut alasan," kata Ustad.
Klarifikasi lengkap dari Ustad Abdul Somad soal kejadian di Bandara Hongkong yang dikutip dari laman resmi FB-nya:
1. Saya sampai di Hongkong pukul 15.00 WIB (jam tangan belum saya rubah).
2. Keluar dari pintu pesawat, beberapa orang tidak berseragam langsung menghadang kami dan menarik kami secara terpisah; saya, Sdr. Dayat dan Sdr. Nawir.
3. Mereka meminta saya buka dompet. Membuka semua kartu-kartu yang ada. Diantara yang lama mereka tanya adalah kartu nama Rabithah Alawiyah (Ikatan Habaib). Saya jelaskan. Di sana saya menduga mereka tertelan isu terorisme. Karena ada logo bintang dan tulisan Arab.
4. Mereka tanya-tanya identitas, pekerjaan, pendidikan, keterkaitan dengan ormas dan politik. Saya jelaskan bahwa saya murni pendidik, intelektual muslim lengkap dengan latar belakang pendidikan saya.
5. Lebih kurang 30 menit berlalu. Mereka jelaskan bahwa negara mereka tidak dapat menerima saya. Itu saja. Tanpa alasan. Mereka langsung mengantar saya ke pesawat yang sama untuk keberangkatan pukul 16.00 WIB ke Jakarta.
Ustad Abdul Somad kemudian berpesan agar sahabat-sahabat panitia jangan pernah berhenti menebar kebaikan di jalan dakwah. Meski banyak
kejadian di luar harapan.
"Kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Qaddarallah, ada hikmah di balik itu semua. Mohon maaf tidak terhingga buat sahabat-sahabat pahlawan devisa negara di Hongkong," tuturnya.
Kejadian ini mengingatkan saya lagi-lagi soal framing media. Acap saya katakan jurnalisme malah mati ketika reformasi. Pondasi ilmu komunikasi dasar yakni hati nurani, akal, budi seakan dilupakan. Code of conduct dalam jurnalisme dikubur. Maka saya menjadi teringat akan reportase mantan Redaktur Senior TEMPO, Alm. Budiman S. Hartoyo. Pensiun dari Tempo, ia pernah menulis untuk Majalah PANTAU. Tulisan literairnya tentang Pesantren Almukmin, Ngruki dan Ustad Abubakar Baasyir dipertanyakan beberapa kawan wartawan. Ada yang bertanya, "Kok enggakketemu teroris di sana?"
Saya masih ingat Budiman menjawab, "Emang wartawan itu penyidik?"
"Wartawan itu verifikasi, reportase." suara Budiman meninggi.
Budiman sebelum menjadi wartawan TEMPO adalah penyair, pernah menjadi penyiar Radio era silam di Solo. Tulisannya lebih dari 3.000 kata tentang Pesantren Ngruki, diberinya judul Tiga Malam di Sarang Teroris, dapat disimak di https://pantau.or.id/?%2F/=d%2F187 , bisa di search di google dengan judul sama.
Tulisan itu acap saya baca ulang karena indah lema literair penyajiannya. Diksi maupun deskripsi enak dibaca. Tulisan berlanggam muatan The NewYorker. Kendati judulnya "nyeleneh" reportase itu tentulah jauh dari apa ditudingkan orang sebagai teroris. Hingga Ustad Baasyir kini renta di penjara, Pesantren Ngruki berjalan mendidik agama. Seingat saya belum ada teroris lahir dari sana.
Framing dalam kehidupan media kita, telah membuat segala sesuatu acap bias. Kehadiran Ustad Somad di Bali, dipersekusi, tentu beritanya sampai ke luar negri tak terkecuali Hongkong.
Dari satu orang menyampaikan pesan ke orang lain saja bisa berubah, di tengah beberapa belahan negara tak dipungkiri fobia terhadap Islam. Kenyataan itu menambah kesemrawutan opini terhadap seseorang. Di tengah hati nurani umat Muslim Indonesia terganjal ihwal penistaan agama, kecurigaan kepada penceramah dan para ustad seakan tajam dengan imbalan tahanan, berlanjut ke isu LGBT seakan diberi tempat dan terkini Ustad Somad diusir dari Hongkong, solusinya, bagi saya dengan latar belakang studi komunikasi massa, adalah mengembalikan kitah jurnalisme kepada kaedah dasarnya: tidak membuat framing.
Belajarlah kepada senior, seperti ke Alm Budiman S. Hartoyo. Dulu era 80-an, reporter baru di TEMPO digojlok dua tahun mereportase, hanya untuk belajar, belum untuk dikutip. Kini wartawan dan media instan berarakan, dan ikut latah terjerembab urusan fulus mulus.
Di tengah keadaan bagalepak-peak, opini dunia menggiring kebencian kepada Islam, sudah seharusnya negara bersikap tanggap, sehingga ada "roso" keinsanan dan berkeindonesiaan berpancasila. Wajar dong, laksana kepada mantan Panglima TNI tempo hari sempat terjegal ke Amerika Serikat, negara membuat surat pernyataan tidak menerima. Menlu tak boleh diam. Karena Ustad Somad bukanlah teroris. Itu baru chengli
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H