Kejadian ini mengingatkan saya lagi-lagi soal framing media. Acap saya katakan jurnalisme malah mati ketika reformasi. Pondasi ilmu komunikasi dasar yakni hati nurani, akal, budi seakan dilupakan. Code of conduct dalam jurnalisme dikubur. Maka saya menjadi teringat akan reportase mantan Redaktur Senior TEMPO, Alm. Budiman S. Hartoyo. Pensiun dari Tempo, ia pernah menulis untuk Majalah PANTAU. Tulisan literairnya tentang Pesantren Almukmin, Ngruki dan Ustad Abubakar Baasyir dipertanyakan beberapa kawan wartawan. Ada yang bertanya, "Kok enggakketemu teroris di sana?"
Saya masih ingat Budiman menjawab, "Emang wartawan itu penyidik?"
"Wartawan itu verifikasi, reportase." suara Budiman meninggi.
Budiman sebelum menjadi wartawan TEMPO adalah penyair, pernah menjadi penyiar Radio era silam di Solo. Tulisannya lebih dari 3.000 kata tentang Pesantren Ngruki, diberinya judul Tiga Malam di Sarang Teroris, dapat disimak di https://pantau.or.id/?%2F/=d%2F187 , bisa di search di google dengan judul sama.
Tulisan itu acap saya baca ulang karena indah lema literair penyajiannya. Diksi maupun deskripsi enak dibaca. Tulisan berlanggam muatan The NewYorker. Kendati judulnya "nyeleneh" reportase itu tentulah jauh dari apa ditudingkan orang sebagai teroris. Hingga Ustad Baasyir kini renta di penjara, Pesantren Ngruki berjalan mendidik agama. Seingat saya belum ada teroris lahir dari sana.
Framing dalam kehidupan media kita, telah membuat segala sesuatu acap bias. Kehadiran Ustad Somad di Bali, dipersekusi, tentu beritanya sampai ke luar negri tak terkecuali Hongkong.
Dari satu orang menyampaikan pesan ke orang lain saja bisa berubah, di tengah beberapa belahan negara tak dipungkiri fobia terhadap Islam. Kenyataan itu menambah kesemrawutan opini terhadap seseorang. Di tengah hati nurani umat Muslim Indonesia terganjal ihwal penistaan agama, kecurigaan kepada penceramah dan para ustad seakan tajam dengan imbalan tahanan, berlanjut ke isu LGBT seakan diberi tempat dan terkini Ustad Somad diusir dari Hongkong, solusinya, bagi saya dengan latar belakang studi komunikasi massa, adalah mengembalikan kitah jurnalisme kepada kaedah dasarnya: tidak membuat framing.
Belajarlah kepada senior, seperti ke Alm Budiman S. Hartoyo. Dulu era 80-an, reporter baru di TEMPO digojlok dua tahun mereportase, hanya untuk belajar, belum untuk dikutip. Kini wartawan dan media instan berarakan, dan ikut latah terjerembab urusan fulus mulus.
Di tengah keadaan bagalepak-peak, opini dunia menggiring kebencian kepada Islam, sudah seharusnya negara bersikap tanggap, sehingga ada "roso" keinsanan dan berkeindonesiaan berpancasila. Wajar dong, laksana kepada mantan Panglima TNI tempo hari sempat terjegal ke Amerika Serikat, negara membuat surat pernyataan tidak menerima. Menlu tak boleh diam. Karena Ustad Somad bukanlah teroris. Itu baru chengli
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H