Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teroriskah Ustad Somad

24 Desember 2017   11:19 Diperbarui: 27 Desember 2017   21:40 2160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum pernah diperlakukan tak nyaman  di bandara negeri lain, saya meyakini  Anda belum menjiwai perasaan Ustad Abdul Somad dideportasi dari Hongkong kemarin. Sedianya, hari ini Minggu, 24 Desember 2017 ia mengisi pengajian di sana. 

Saya di Singapura, pada awal 2009, pernah diinterogasi di Changi, Singapura. Tak paham awal pasal maka ketika menyimak dilayar  komputer mereka, tiga nama saya muncul. Ada Narliswandi Piliang, Narliswandi dan Iwan Piliang. Saya menduga kala itu ihwal penulisan nama itu musibah. Ternyata bukan.

Dari dialog dengan petugas bandara dan adanya polisi mendampingi, saya menjadi mafhum hal itu berkait ke aktifitas sosial saya memverifikasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya, anak pintar WNI, di Kampusnya di NTU, Singapura. Kala itu hampir semua persidangan koronernya  saya ikuti. Reportase liputan persidangan dan verifikasi kasus itu saya tulis di blog termasuk di Kompasiana. Kejadian di  Changi itu tak membuat saya dideportasi, laksana Ustad Somad dipulangkan otoritas Bandara Hongkong saat itu juga. Saya kala itu seakan "tertolong"  di jaket saya ada kartu nama  Rumah Produksi Animasi kami di Bali. Saya berdiplomasi mau menyimak pameran  Toys terbesar kala itu sedang berlangsung di Singapura. Maka atas dasar ingin melihat pameran itu, petugas "melepas" saya masuk ke negaranya.

Ustad Somad diundang komunitas warga kita di Hongkong memberi ceramah agama, tausiah, persembahan lisan kemuliaan agama Islam. Ustad Somad tentu tak bergaya saya, data versi petugas sana sudah di tangan  bandara Hongkong. Di media sebagaimana sudah beredar dapat disimak.

Ustad terkenal lewat  penyampaian kajian  ilmu fiqihnya itu, tiba di Bandara Hongkong sekitar pukul pukul 15:00  WIB.  Ulama asal Pekanbaru itu ke luar menuju pintu pesawat, ia langaung dihadang petugas.

"Begitu sampai, ada beberapa orang menunggu keluar dari pintu pesawat, saya dipisah," ujarnya.

Setelah dipisah dengan rombongannya, Ustad Somad dibawa ke dalam  sebuah ruangan di dalam bandara tersebut. Di dalam ruangan, petugas  mengintrogasi Abdul Somad dengan banyak pertanyaan dan menggeledah  barang-barang dirinya.

"Diminta agar buka dompet, semua diperiksa, kartu-kartu dan mereka  cek semua surat-surat, kemudian dia liat HP liat nomer-nomer  kontak," ujar Abdul Somad. 

Dalam penggeledahan tersebut petugas bandara juga sempat mencurigai keterlibatan Abdul Somad di sebuah ormas. Namun hal itu dia bantah  langsung. 

Penceramah ini menjelaskan bahwa dirinya tidak ada keterkaitan  apapun dengan politik maupun ormas.

"Saya bilang saya seorang dosen, kemudian saya sebutkan satu-satu universitas tempat saya mengajar," ujarnya.

Penggeledahan terhadap Abdul Somad terjadi kurang lebih selama sampai 45 menit. Setelah penggeledahan usai, petugas tersebut  langsung mengantar kembali Ustad Somad ke dalam pesawat ditumpanginya saat datang ke Hongkong. 

Ustad Somad pun diminta kembali ke Indonesia tanpa alasan jelas.  "Saya tanya kenapa? Dia bilang kita belum bisa memberi izin untuk masuk  tanpa menyebut alasan," kata Ustad.

Klarifikasi lengkap dari Ustad Abdul Somad soal kejadian di Bandara Hongkong yang dikutip dari laman resmi FB-nya:

1. Saya sampai di Hongkong pukul 15.00 WIB (jam tangan belum saya rubah).

2. Keluar dari pintu pesawat, beberapa orang tidak berseragam  langsung menghadang kami dan menarik kami secara terpisah; saya, Sdr.  Dayat dan Sdr. Nawir.

3. Mereka meminta saya buka dompet. Membuka semua kartu-kartu yang  ada. Diantara yang lama mereka tanya adalah kartu nama Rabithah Alawiyah  (Ikatan Habaib). Saya jelaskan. Di sana saya menduga mereka tertelan  isu terorisme. Karena ada logo bintang dan tulisan Arab.

4. Mereka tanya-tanya identitas, pekerjaan, pendidikan, keterkaitan  dengan ormas dan politik. Saya jelaskan bahwa saya murni pendidik,  intelektual muslim lengkap dengan latar belakang pendidikan saya.

5. Lebih kurang 30 menit berlalu. Mereka jelaskan bahwa negara mereka  tidak dapat menerima saya. Itu saja. Tanpa alasan. Mereka langsung  mengantar saya ke pesawat yang sama untuk keberangkatan pukul 16.00 WIB  ke Jakarta.

Ustad Abdul Somad kemudian berpesan agar sahabat-sahabat panitia  jangan pernah berhenti menebar kebaikan di jalan dakwah. Meski banyak 

kejadian di luar harapan. 

"Kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Qaddarallah, ada hikmah di  balik itu semua. Mohon maaf tidak terhingga buat sahabat-sahabat  pahlawan devisa negara di Hongkong," tuturnya.

Kejadian ini mengingatkan saya  lagi-lagi soal framing media. Acap saya katakan jurnalisme malah mati ketika reformasi. Pondasi ilmu komunikasi dasar yakni hati nurani, akal, budi seakan dilupakan. Code of conduct dalam jurnalisme dikubur. Maka saya menjadi teringat akan reportase  mantan Redaktur Senior TEMPO, Alm. Budiman S. Hartoyo. Pensiun dari Tempo, ia pernah menulis untuk Majalah PANTAU. Tulisan literairnya tentang Pesantren Almukmin, Ngruki dan Ustad Abubakar Baasyir dipertanyakan beberapa kawan wartawan. Ada yang bertanya, "Kok enggakketemu teroris di sana?"

Saya masih ingat Budiman menjawab, "Emang wartawan itu penyidik?"

"Wartawan itu verifikasi, reportase." suara Budiman meninggi.

Budiman sebelum menjadi wartawan TEMPO adalah penyair, pernah menjadi penyiar Radio era silam di Solo. Tulisannya lebih dari 3.000 kata tentang Pesantren Ngruki, diberinya judul Tiga Malam di Sarang Teroris, dapat disimak di https://pantau.or.id/?%2F/=d%2F187 , bisa di search di google dengan  judul sama.

Tulisan itu acap saya baca ulang karena indah lema literair penyajiannya. Diksi maupun deskripsi  enak dibaca. Tulisan berlanggam muatan The NewYorker.  Kendati judulnya "nyeleneh"  reportase itu tentulah jauh dari apa  ditudingkan orang sebagai teroris.  Hingga Ustad Baasyir kini renta di penjara, Pesantren Ngruki berjalan mendidik agama. Seingat saya belum ada teroris lahir dari sana.

Framing dalam kehidupan media kita, telah membuat segala sesuatu acap bias. Kehadiran Ustad Somad di Bali, dipersekusi, tentu beritanya sampai ke luar negri tak terkecuali Hongkong. 

Dari satu orang menyampaikan pesan ke orang lain saja bisa berubah, di tengah beberapa belahan negara tak dipungkiri fobia terhadap Islam. Kenyataan itu   menambah kesemrawutan opini terhadap seseorang. Di tengah hati nurani umat Muslim Indonesia terganjal ihwal penistaan agama, kecurigaan kepada penceramah dan para ustad seakan tajam dengan imbalan tahanan, berlanjut ke isu LGBT seakan diberi tempat dan terkini Ustad Somad diusir dari Hongkong, solusinya, bagi saya dengan latar belakang studi komunikasi massa, adalah mengembalikan kitah jurnalisme kepada kaedah dasarnya: tidak membuat framing.

Belajarlah  kepada senior, seperti ke  Alm Budiman S. Hartoyo.  Dulu  era 80-an, reporter baru di TEMPO digojlok dua tahun mereportase, hanya untuk belajar, belum untuk dikutip. Kini wartawan dan media instan berarakan, dan ikut latah terjerembab urusan fulus mulus.

Di tengah keadaan bagalepak-peak, opini dunia menggiring kebencian kepada Islam, sudah seharusnya negara bersikap tanggap, sehingga ada "roso" keinsanan dan berkeindonesiaan berpancasila. Wajar dong, laksana kepada mantan Panglima TNI tempo hari sempat terjegal ke Amerika Serikat, negara membuat surat pernyataan tidak menerima. Menlu tak boleh diam. Karena Ustad Somad bukanlah teroris. Itu baru chengli

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun