Bansos dalam arti penyelenggaraan pemerintahan modern menjadi perangkap penggiringan demokrasi seperti hasil pemilu kemarin buktinya. Untuk mengantisipasi kerusakan demokrasi lebih lanjut kita perlu memikirkan cara penghapusan kemiskinan atau meniadakan angka kemiskinan dan memberdayakan masyarakat miskin mencapai syarat kehidupan layak minimum. Cara alternatifnya, yang jelas sudah dikerjakan di berbagai negara maju adalah dengan memberikan tax return atau dalam bahasa Indonesianya adalah alternatif subsidi pajak dalam pelaporan pajak tahunan.Â
Jadi bukan karena bantuan sosial dari presiden atau menteri atau ketua partai atau pak Bupati yang sedang kampanye, tetapi lebih menyatakan peran pokok negara yang utama, dan bukan peran pemimpin yang sepertinya tipu tipu welas asih memberikan beras secara pribadi dengan menggunakan uang negara, atau singkatnya korupsi jabatan. Teknisnya, dalam memberikan subsidi bagi masyarakat yang berpenghasilan nol hingga level di bawah tingkat kemiskinan atau poverty level menurut PBB.Â
Jadi untuk menghapuskan kemiskinan maka rakyat harus didorong membuat laporan pajak tahunan atau tax return dengan menggunakan nomor KTP sebagai nomor pajak (social security number). Dalam laporannya kalau penghasilannya kurang dari angka kemiskinan, maka akan mendapatkan subsidi supaya penghasilannya ada di level setingkat lebih tinggi dari poverty level. Atau kalau penghasilannya dibawah level poverty maka akan mendapatkan selisihnya untuk mencapai angka di atas poverty level.Â
Dengan demikian maka poverty level sudah tidak relevan karena sudah disubsidi oleh pajak progresif dari pembayar pajak yang kaya raya. Apalagi 5% penduduk setiap negara adalah orang kaya yang memiliki aset 95% di setiap negara tersebut. Jadi pemerataan penghasilan di atas poverty level PBB bukannya tidak mungkin, tetapi sangat mungkin sekali, dan 90% sisa anggarannya dapat dipakai untuk menjalankan suatu negara. Itulah artinya kemiskinan ditanggung oleh negara bukan pemerintah dan bukan presiden, menteri atau pemimpin partai politik.
Tantangan Bantuan Sosial (Bansos) dalam Demokrasi: Antara Pemberdayaan dan Patronase Politik
Dalam sistem demokrasi yang sehat, partisipasi politik yang luas dan hak-hak sipil harus menjadi landasan utama. Namun, ketika bantuan sosial (Bansos) digunakan sebagai instrumen politik, demokrasi menghadapi tantangan serius. Bansos sering kali dimanfaatkan oleh pemerintah atau politisi untuk mempertahankan kekuasaan, dengan menjadikan masyarakat miskin sebagai penerima bantuan yang rentan terhadap manipulasi. Fenomena ini menciptakan ketergantungan yang mengaburkan garis antara kebutuhan sosial yang sah dan eksploitasi politik.
Artikel ini akan menguraikan tantangan Bansos dalam demokrasi, membahas ancaman yang ditimbulkannya bagi partisipasi politik masyarakat, dan mengeksplorasi solusi alternatif, seperti subsidi pajak yang dapat mendorong pemberdayaan masyarakat secara lebih berkelanjutan.
1. Bansos Sebagai Alat Politik dan Ancaman Demokrasi
Dalam banyak kasus, Bansos telah menjadi alat untuk mempertahankan patronase politik. Patronase ini merujuk pada hubungan timbal balik di mana politisi atau pejabat pemerintah memberikan bantuan finansial kepada masyarakat dengan harapan memperoleh dukungan politik, baik dalam bentuk suara saat pemilu maupun legitimasi kekuasaan. Alih-alih memberdayakan masyarakat miskin, Bansos jangka pendek justru menciptakan ketergantungan.
Masyarakat yang menerima bantuan cenderung lebih fokus pada kebutuhan jangka pendek---mengamankan kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan tempat tinggal. Hal ini, dalam banyak kasus, mengalihkan perhatian mereka dari hak-hak sipil yang lebih penting dalam jangka panjang, seperti hak untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan politik. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki insentif untuk menuntut kebijakan publik yang lebih progresif dan berkelanjutan, karena mereka bergantung pada kebijakan Bansos yang diberikan oleh elit politik.
Lebih lanjut, Bansos yang diberikan tanpa strategi pemberdayaan jangka panjang hanya memperkuat ketidaksetaraan struktural. Masyarakat yang miskin tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan, sementara mereka yang berada di puncak kekuasaan terus memanfaatkan posisi dominannya. Demokrasi yang sejatinya didasarkan pada partisipasi setara menjadi terdistorsi oleh dinamika ini.