Secara keseluruhan, tampaknya Musk memiliki interpretasi kebebasan berbicara yang sangat subjektif dan terkadang selektif. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah dia benar-benar memperjuangkan kebebasan berbicara sebagai prinsip universal, atau jika dia lebih memilih untuk memanipulasinya sesuai dengan kepentingan pribadinya.Â
Ketika masyarakat dan pengadilan Brasil mempercayai konsep kebebasan berbicara yang idealis---yaitu, kebebasan berbicara yang tidak selektif dan berlaku universal---pertanyaan yang muncul adalah mengapa Elon Musk merasa perlu untuk melawan pendekatan tersebut dengan pendekatan yang lebih selektif dan didasarkan pada perspektif pribadinya.
Ada beberapa alasan yang mungkin menjelaskan sikap Musk ini:
Kontrol terhadap Narasi: Salah satu alasan Musk mungkin merasa perlu untuk mengadopsi pendekatan yang lebih selektif adalah untuk menjaga kontrol terhadap narasi yang berkembang di platform X. Dalam lingkungan yang sangat dinamis dan penuh tantangan, Musk mungkin merasa bahwa tidak semua bentuk kebebasan berbicara sesuai dengan visinya untuk platform tersebut. Dengan menerapkan kebijakan yang selektif, dia bisa memastikan bahwa konten yang menurutnya berbahaya atau mengancam posisinya tidak mendapatkan panggung yang terlalu besar.
Kepentingan Bisnis dan Reputasi: Musk mungkin memandang bahwa kebebasan berbicara yang benar-benar tidak selektif bisa berdampak negatif terhadap bisnisnya, terutama jika konten yang tersebar di X dapat merusak reputasi perusahaan atau menyebabkan hilangnya pengguna dan pengiklan. Dengan mengontrol jenis konten apa yang bisa diterima di platform, Musk mungkin berusaha untuk menjaga X tetap aman bagi investor dan pengguna yang mungkin tidak setuju dengan pandangan-pandangan ekstrem.
Perlindungan Terhadap Kritik Pribadi: Musk mungkin merasa bahwa kritik yang terlalu terbuka terhadap dirinya dan kebijakannya bisa melemahkan otoritas dan kepemimpinannya di X. Dengan demikian, pendekatan yang lebih selektif terhadap kebebasan berbicara bisa dilihat sebagai cara untuk melindungi dirinya dari serangan yang bisa mengganggu fokus dan visinya. Dalam hal ini, pendekatannya lebih merupakan refleksi dari kebutuhan untuk mempertahankan citra dan otoritas pribadi daripada komitmen terhadap kebebasan berbicara yang benar-benar universal.
Ketidakpercayaan terhadap Institusi Hukum: Musk seringkali menunjukkan ketidakpercayaan terhadap otoritas hukum dan pemerintah, terutama ketika dia merasa bahwa hukum tersebut digunakan untuk tujuan politis atau represif. Dalam konteks ini, dia mungkin merasa bahwa pendekatan kebebasan berbicara yang diterapkan oleh pengadilan Brasil tidak benar-benar netral, melainkan digunakan untuk mengontrol narasi tertentu atau untuk membatasi kelompok-kelompok yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Oleh karena itu, Musk mungkin merasa bahwa dia perlu melawan pendekatan tersebut dengan perspektif pribadinya, yang diyakini lebih adil atau lebih sesuai dengan visinya tentang kebebasan.
Pertarungan Ideologi: Terakhir, mungkin ada dimensi ideologis di mana Musk melihat pertempuran ini sebagai pertarungan antara dua pandangan yang berbeda tentang kebebasan berbicara. Sementara pengadilan Brasil mungkin berpendapat bahwa kebebasan berbicara harus diterapkan secara luas dan tidak selektif, Musk mungkin percaya bahwa ada batasan-batasan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial atau melindungi kebebasan yang lebih besar. Dalam hal ini, tindakan selektif Musk mungkin lebih tentang mendefinisikan ulang kebebasan berbicara sesuai dengan keyakinannya sendiri, daripada sekadar memberangus suara-suara yang tidak disetujui.
Pada akhirnya, perbedaan pendekatan ini mencerminkan ketegangan yang mendasar antara visi idealis kebebasan berbicara yang dianut oleh beberapa pihak dan interpretasi pragmatis yang diterapkan oleh Musk untuk melindungi kepentingan pribadinya dan perusahaan.Â
Dalam masyarakat demokrasi internasional yang terbuka, kebebasan berbicara dan akses terhadap informasi yang akurat merupakan pondasi penting. Namun, ketika platform digital yang berpengaruh seperti X (sebelumnya Twitter) dimiliki dan dikendalikan oleh individu yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan informasi sesuai dengan keinginannya, hal ini dapat menimbulkan konflik dengan prinsip-prinsip demokrasi tersebut.
Haruskah Masyarakat Demokrasi Tunduk pada Kemauan Pemilik Platform?Â