Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi Kebebasan Berbicara vs Platform Media Sosial X

3 September 2024   21:33 Diperbarui: 3 September 2024   22:11 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Defend Democracy/ned.com

Demokrasi vs. Diktat Platform: Kebebasan Berbicara dalam Bayang-Bayang Elon Musk 

Di tengah gelombang peraturan yang semakin ketat dan tantangan hukum yang dihadapi di Brasil, Elon Musk sekali lagi menunjukkan kegigihannya yang tak tergoyahkan. Dalam konfrontasinya dengan Hakim Alexandre de Moraes, Musk menemukan cara untuk mengatasi larangan yang dikenakan pada perusahaan media sosialnya, X, di Brasil. 

Ketika Mahkamah Agung Brasil memutuskan untuk menguatkan larangan tersebut, Musk tidak tinggal diam. Melalui perusahaan internet satelitnya, Starlink, yang juga berada di bawah kendalinya melalui SpaceX, Musk berhasil memberikan akses kepada warga Brasil ke aplikasi X, meskipun larangan telah diberlakukan.  

Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa Elon Musk menolak untuk menuruti perintah pengadilan Brasil terkait penunjukan perwakilan hukum untuk platform media sosialnya, X (sebelumnya Twitter). Pertama, Musk mungkin melihat keputusan ini sebagai upaya untuk membatasi kebebasan berbicara, yang merupakan prinsip yang sangat dijunjung tinggi olehnya.

Dia telah secara terbuka menuduh Hakim Alexandre de Moraes bertindak sebagai "diktator" dan menuduhnya melakukan sensor. Dalam pandangan Musk, perintah pengadilan ini mungkin dianggap sebagai bentuk pembungkaman politik, terutama mengingat konteks perdebatan mengenai akun-akun sayap kanan dan penyebaran informasi yang menjadi isu kontroversial di Brasil. 

Kedua, Musk mungkin menilai bahwa penunjukan perwakilan hukum lokal dapat memberikan otoritas Brasil terlalu banyak kendali atas operasi X, yang bisa berujung pada intervensi yang lebih dalam terhadap kebijakan platform tersebut. Dengan menghindari penunjukan perwakilan hukum, Musk tampaknya berusaha mempertahankan kendali penuh atas bagaimana X dioperasikan, terutama dalam hal moderasi konten dan kebijakan perusahaan yang terkait dengan kebebasan berbicara. 

Ketiga, penolakan Musk untuk menuruti perintah pengadilan mungkin juga didorong oleh keyakinannya bahwa tindakan hukum tersebut lebih bersifat politis daripada hukum. Dengan adanya denda harian dan ancaman sanksi terhadap pengguna yang mengakses X melalui VPN, beberapa ahli hukum mempertanyakan dasar hukum dari keputusan tersebut dan bagaimana hal itu akan ditegakkan. Musk mungkin melihat keputusan ini sebagai bentuk otoritarianisme yang tidak bisa diterima, yang bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan individu dan inovasi teknologi yang ia dukung.

Akhirnya, Musk mungkin lebih memilih untuk menghadapi konsekuensi hukum dan finansial daripada menyerah pada apa yang dianggap sebagai presiden berbahaya. Baginya, prinsip-prinsip kebebasan berbicara dan otonomi perusahaan lebih penting daripada sekadar mematuhi perintah pengadilan yang dianggapnya melanggar hak-hak dasar. Sementara keputusannya ini mungkin tampak berisiko, itu mencerminkan kegigihannya dalam mempertahankan visi dan nilai-nilai yang ia yakini, meskipun menghadapi tantangan hukum yang serius. 

Elon Musk memiliki beberapa alasan mengapa dia tetap mempertahankan akun-akun sayap kanan dan konten yang dianggap sebagai disinformasi atau misinformasi di platformnya, X (sebelumnya Twitter), meskipun ini menyebabkan konfrontasi hukum di berbagai negara, termasuk Brasil.

  1. Kebebasan Berbicara sebagai Prinsip Utama: Musk telah secara konsisten menyatakan bahwa kebebasan berbicara adalah salah satu nilai inti yang ingin dia pertahankan di platformnya. Dia percaya bahwa semua suara, termasuk yang kontroversial atau tidak populer, harus memiliki hak untuk didengar. Menurut pandangannya, menyensor akun-akun sayap kanan atau menghapus konten yang dituduh sebagai disinformasi dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip kebebasan berbicara, yang dia anggap sebagai hak fundamental.

  2. Skeptisisme terhadap Sensor Pemerintah: Musk sering kali menunjukkan ketidakpercayaan terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan platform digital, terutama yang berkaitan dengan kontrol informasi. Dia mungkin melihat tindakan sensor atau penegakan hukum yang melarang atau membatasi jenis-jenis konten tertentu sebagai bentuk intervensi yang berlebihan oleh pemerintah. Ini bisa menjelaskan mengapa dia lebih memilih untuk melawan hukum yang menurutnya bersifat represif, bahkan jika itu berarti menghadapi konsekuensi hukum yang serius.

  3. Dukungan Terhadap Pluralitas dan Debat Terbuka: Musk mungkin percaya bahwa debat terbuka dan pluralitas pandangan, termasuk yang berasal dari sayap kanan, penting untuk kesehatan demokrasi. Dengan mempertahankan akun-akun tersebut, dia mungkin ingin mendorong diskusi yang lebih luas dan menghindari pembentukan "ruang gema" di mana hanya pandangan tertentu yang diizinkan. Dalam pandangannya, menyensor atau menghapus pandangan yang tidak populer bisa berisiko menghambat dialog yang produktif dan melemahkan keanekaragaman pendapat di ruang publik.

  4. Posisi Terhadap Globalisasi Hukum: Musk mungkin juga melihat upaya hukum di berbagai negara untuk mengatur konten di platform global sebagai ancaman terhadap operasi perusahaan teknologi yang berskala internasional. Dengan menentang hukum lokal yang menurutnya tidak adil, dia mungkin berusaha menegaskan bahwa platform global seperti X tidak boleh tunduk pada aturan yang terlalu membatasi dari satu negara tertentu. Ini adalah bagian dari visinya untuk menciptakan internet yang lebih terbuka dan bebas dari batasan yang dipaksakan oleh negara tertentu.

  5. Strategi Bisnis dan Loyalitas Pengguna: Mempertahankan basis pengguna yang luas dan beragam, termasuk kelompok-kelompok sayap kanan, mungkin juga merupakan bagian dari strategi bisnis Musk. Dengan tidak menyensor kelompok ini, dia mungkin ingin memastikan bahwa X tetap menjadi platform yang menarik bagi berbagai segmen pengguna, yang pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah pengguna aktif dan keterlibatan di platform tersebut. Ini bisa menjadi faktor penting dalam mempertahankan pertumbuhan dan relevansi X di pasar global.

Meskipun langkah-langkah ini menyebabkan Musk menghadapi ancaman dan tantangan hukum di berbagai negara, tampaknya dia bersedia menghadapi risiko tersebut untuk mempertahankan prinsip-prinsip yang diyakininya. Bagi Musk, mempertahankan kebebasan berbicara, bahkan dalam konteks yang kontroversial, adalah hal yang lebih penting daripada tunduk pada tekanan hukum yang menurutnya tidak adil. 

Ancaman hukum yang serius, termasuk pembekuan rekening bank Starlink di Brasil, Musk tetap teguh. Dia menganggap perintah pengadilan yang menetapkan Starlink bertanggung jawab atas denda yang dikenakan kepada X sebagai tindakan yang tidak konstitusional, dalam arti konstitusi menurut Musk, bukan menurut negara Brazil. Di lain pihak dalam pernyataan publik, Starlink menegaskan bahwa mereka tidak diberi kesempatan untuk mempertahankan diri sesuai dengan proses hukum yang dijamin oleh Konstitusi Brasil. 

Kegigihan Musk untuk terus memberikan layanan kepada lebih dari 250.000 pelanggan Starlink di Brasil, meskipun dihadapkan pada ancaman hukum, mencerminkan komitmennya yang mendalam terhadap prinsip-prinsip kebebasan dan akses informasi. Bagi Musk, perlawanan ini bukan hanya tentang mempertahankan bisnisnya, tetapi juga tentang menegakkan hak-hak dasar yang diyakininya harus dimiliki oleh semua orang, terlepas dari batasan hukum yang mungkin mencoba untuk menghalanginya. 

Elon Musk sering memposisikan dirinya sebagai pendukung kebebasan berbicara yang kuat, tetapi tindakan-tindakannya di platform X (sebelumnya Twitter) menunjukkan adanya ketidakkonsistenan yang menimbulkan pertanyaan mengenai apakah dia benar-benar mendukung kebebasan berbicara secara universal atau hanya ketika sesuai dengan pandangannya sendiri.

  1. Inkonistensi dalam Implementasi Kebijakan: Musk telah memberangus atau membatasi akun-akun yang berbeda pandangan dengannya, yang menunjukkan adanya perbedaan antara apa yang dia klaim sebagai prinsip kebebasan berbicara dan bagaimana dia menerapkannya. Misalnya, akun-akun yang mengkritik kebijakan atau tindakan Musk sendiri sering kali mengalami penangguhan atau pembatasan. Ini menimbulkan dugaan bahwa kebebasan berbicara di platform X mungkin lebih condong pada kebebasan berbicara yang sejalan dengan pandangan Musk atau kepentingannya, daripada sebuah prinsip yang diterapkan secara adil dan merata.

  2. Kontrol dan Pengaruh Pribadi: Sebagai pemilik dan pengendali X, Musk memiliki kekuasaan besar untuk menentukan aturan main di platform tersebut. Jika dia memberangus akun-akun yang berbeda pandangan dengannya, ini bisa jadi karena dia ingin menjaga citra atau kepentingan pribadi, atau bahkan karena dia merasa terganggu oleh kritik. Dalam konteks ini, kebebasan berbicara mungkin lebih bersifat selektif dan didasarkan pada perspektif pribadi Musk, bukan pada komitmen terhadap kebebasan berekspresi yang inklusif.

  3. Kebebasan Berbicara yang Disesuaikan dengan Agenda: Ada juga kemungkinan bahwa Musk mendukung kebebasan berbicara sebagai prinsip, tetapi hanya sejauh itu mendukung agendanya. Ketika kebebasan berbicara digunakan untuk mendukung pandangan sayap kanan atau kelompok yang mendukungnya, Musk tampaknya lebih toleran. Namun, ketika pandangan tersebut berlawanan atau mengkritik langsung dirinya, dia mungkin merasa perlu untuk mengontrol narasi yang muncul di platformnya.

  4. Dugaan Hipokrisi: Karena tindakan-tindakannya yang sering bertentangan dengan retorikanya tentang kebebasan berbicara, banyak orang menuduh Musk sebagai seorang hipokrit. Hipokrisi ini dapat dilihat sebagai refleksi dari pandangan picik terhadap kebebasan berbicara, di mana kebebasan tersebut hanya dihargai ketika menguntungkan dirinya atau platformnya. Ini menunjukkan bahwa, meskipun Musk mungkin berbicara tentang kebebasan berbicara sebagai nilai universal, dalam praktiknya dia mungkin lebih fokus pada bagaimana kebebasan tersebut dapat digunakan untuk mencapai tujuannya sendiri.

Secara keseluruhan, tampaknya Musk memiliki interpretasi kebebasan berbicara yang sangat subjektif dan terkadang selektif. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah dia benar-benar memperjuangkan kebebasan berbicara sebagai prinsip universal, atau jika dia lebih memilih untuk memanipulasinya sesuai dengan kepentingan pribadinya. 

Ketika masyarakat dan pengadilan Brasil mempercayai konsep kebebasan berbicara yang idealis---yaitu, kebebasan berbicara yang tidak selektif dan berlaku universal---pertanyaan yang muncul adalah mengapa Elon Musk merasa perlu untuk melawan pendekatan tersebut dengan pendekatan yang lebih selektif dan didasarkan pada perspektif pribadinya.

Ada beberapa alasan yang mungkin menjelaskan sikap Musk ini:

  1. Kontrol terhadap Narasi: Salah satu alasan Musk mungkin merasa perlu untuk mengadopsi pendekatan yang lebih selektif adalah untuk menjaga kontrol terhadap narasi yang berkembang di platform X. Dalam lingkungan yang sangat dinamis dan penuh tantangan, Musk mungkin merasa bahwa tidak semua bentuk kebebasan berbicara sesuai dengan visinya untuk platform tersebut. Dengan menerapkan kebijakan yang selektif, dia bisa memastikan bahwa konten yang menurutnya berbahaya atau mengancam posisinya tidak mendapatkan panggung yang terlalu besar.

  2. Kepentingan Bisnis dan Reputasi: Musk mungkin memandang bahwa kebebasan berbicara yang benar-benar tidak selektif bisa berdampak negatif terhadap bisnisnya, terutama jika konten yang tersebar di X dapat merusak reputasi perusahaan atau menyebabkan hilangnya pengguna dan pengiklan. Dengan mengontrol jenis konten apa yang bisa diterima di platform, Musk mungkin berusaha untuk menjaga X tetap aman bagi investor dan pengguna yang mungkin tidak setuju dengan pandangan-pandangan ekstrem.

  3. Perlindungan Terhadap Kritik Pribadi: Musk mungkin merasa bahwa kritik yang terlalu terbuka terhadap dirinya dan kebijakannya bisa melemahkan otoritas dan kepemimpinannya di X. Dengan demikian, pendekatan yang lebih selektif terhadap kebebasan berbicara bisa dilihat sebagai cara untuk melindungi dirinya dari serangan yang bisa mengganggu fokus dan visinya. Dalam hal ini, pendekatannya lebih merupakan refleksi dari kebutuhan untuk mempertahankan citra dan otoritas pribadi daripada komitmen terhadap kebebasan berbicara yang benar-benar universal.

  4. Ketidakpercayaan terhadap Institusi Hukum: Musk seringkali menunjukkan ketidakpercayaan terhadap otoritas hukum dan pemerintah, terutama ketika dia merasa bahwa hukum tersebut digunakan untuk tujuan politis atau represif. Dalam konteks ini, dia mungkin merasa bahwa pendekatan kebebasan berbicara yang diterapkan oleh pengadilan Brasil tidak benar-benar netral, melainkan digunakan untuk mengontrol narasi tertentu atau untuk membatasi kelompok-kelompok yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Oleh karena itu, Musk mungkin merasa bahwa dia perlu melawan pendekatan tersebut dengan perspektif pribadinya, yang diyakini lebih adil atau lebih sesuai dengan visinya tentang kebebasan.

  5. Pertarungan Ideologi: Terakhir, mungkin ada dimensi ideologis di mana Musk melihat pertempuran ini sebagai pertarungan antara dua pandangan yang berbeda tentang kebebasan berbicara. Sementara pengadilan Brasil mungkin berpendapat bahwa kebebasan berbicara harus diterapkan secara luas dan tidak selektif, Musk mungkin percaya bahwa ada batasan-batasan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial atau melindungi kebebasan yang lebih besar. Dalam hal ini, tindakan selektif Musk mungkin lebih tentang mendefinisikan ulang kebebasan berbicara sesuai dengan keyakinannya sendiri, daripada sekadar memberangus suara-suara yang tidak disetujui.

Pada akhirnya, perbedaan pendekatan ini mencerminkan ketegangan yang mendasar antara visi idealis kebebasan berbicara yang dianut oleh beberapa pihak dan interpretasi pragmatis yang diterapkan oleh Musk untuk melindungi kepentingan pribadinya dan perusahaan. 

Dalam masyarakat demokrasi internasional yang terbuka, kebebasan berbicara dan akses terhadap informasi yang akurat merupakan pondasi penting. Namun, ketika platform digital yang berpengaruh seperti X (sebelumnya Twitter) dimiliki dan dikendalikan oleh individu yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan informasi sesuai dengan keinginannya, hal ini dapat menimbulkan konflik dengan prinsip-prinsip demokrasi tersebut.

Haruskah Masyarakat Demokrasi Tunduk pada Kemauan Pemilik Platform? 

Secara ideal, masyarakat demokrasi internasional tidak seharusnya tunduk pada kemauan pemilik platform yang hanya ingin mengatur informasi sesuai dengan preferensi pribadinya. Ketika pemilik platform memiliki kekuasaan untuk mengontrol informasi dan membatasi suara-suara yang tidak sejalan dengan pandangannya, ini dapat mengancam pluralisme dan kebebasan berbicara yang seharusnya menjadi ciri utama dari demokrasi.

Ketundukan pada kemauan pemilik platform dapat mengakibatkan:

  • Monopoli Informasi: Informasi menjadi terpusat pada narasi yang diinginkan oleh pemilik platform, yang bisa mengarah pada pembentukan bias informasi di masyarakat.

  • Pemberangusan Pandangan yang Berbeda: Pandangan yang bertentangan atau kritis terhadap pemilik platform atau kepentingannya bisa disensor atau dibatasi, yang mengurangi keragaman opini yang diperlukan untuk debat publik yang sehat.

  • Erosi Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat menyadari bahwa informasi yang mereka akses telah disaring atau dimanipulasi, kepercayaan terhadap platform tersebut dan bahkan terhadap media digital secara umum bisa terkikis.

Bagaimana Membuat Informasi Apa Adanya tanpa Harus Disesuaikan atau Dibungkam? 

Untuk menjaga agar informasi tetap "apa adanya" dan tidak disesuaikan atau dibungkam, terutama di platform besar seperti X, ada beberapa pendekatan yang bisa diambil:

  1. Transparansi Algoritma dan Kebijakan: Platform harus transparan mengenai bagaimana algoritma mereka bekerja dan bagaimana kebijakan konten diterapkan. Pengguna harus tahu bagaimana keputusan diambil mengenai konten mana yang dipromosikan atau dibatasi, dan alasan di balik keputusan tersebut.

  2. Pengawasan Independen: Dibutuhkan pengawasan dari pihak ketiga yang independen untuk memastikan bahwa platform digital tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk memanipulasi informasi. Lembaga ini bisa berfungsi untuk menilai kebijakan konten dan memastikan bahwa mereka diterapkan secara adil tanpa bias politik atau kepentingan pribadi.

  3. Perlindungan Hukum terhadap Kebebasan Berbicara: Pemerintah dan masyarakat sipil perlu mengembangkan undang-undang dan regulasi yang melindungi kebebasan berbicara di platform digital, tanpa mengesampingkan tanggung jawab terhadap penyebaran disinformasi atau konten berbahaya. Regulasi ini harus memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak disalahgunakan oleh platform untuk membungkam kritik atau pandangan yang berbeda.

  4. Pendidikan Literasi Media: Masyarakat perlu diberdayakan dengan literasi media yang kuat, sehingga mereka bisa mengenali bias, disinformasi, dan memahami konteks informasi yang mereka konsumsi. Ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu sumber informasi atau platform dan mendorong masyarakat untuk mencari informasi dari berbagai sumber.

  5. Desentralisasi Platform: Mempertimbangkan dukungan terhadap platform yang lebih desentralisasi, di mana tidak ada satu entitas tunggal yang memiliki kontrol penuh atas informasi. Model-model ini bisa memberikan lebih banyak kekuatan kepada pengguna dan komunitas untuk menentukan kebijakan konten mereka sendiri.

Kesimpulan:  Dalam demokrasi yang terbuka, masyarakat tidak seharusnya tunduk pada kemauan satu individu atau entitas yang memiliki kontrol penuh atas platform informasi. Upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa informasi tetap beragam, transparan, dan tidak dibungkam hanya karena pandangannya berbeda. Hanya dengan demikian, kebebasan berbicara yang sejati dan pluralisme informasi bisa dijaga dalam era digital ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun