ASEAN untuk Mencegah Tiongkok
Ringkasan dari Diskusi CSIS tentang KetidakmampuanMinggu ini masih berlangsung Konferensi Tahunan Laut Cina Selatan Ke 14 di CSIS yang mempertemukan para ahli dari berbagai negara ASEAN untuk membahas kompleksitas seputar tantangan mencegah, bukan melawan  reklamasi agresif Tiongkok. Kita telah mendengarkan masukan dari Aristyo Darmawan, profesor hukum internasional Universitas Indonesia, Jay Batongbacal, profesor universitas Filipina, Chi Ting Tsai, profesor Universitas Nasional Taiwan, Bich Tran, profesor Universitas Nasional Singapura, dan dimoderatori oleh Andreyka Natalegawa, sebagai rekanan CSIS.. Para profesor tersebut merupakan perwakilan ASEAN yang terlibat dalam diskusi serius yang hanya menekankan keprihatinan mereka terhadap ASEAN menghadapi aktivitas reklamasi agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan.Â
Perilaku dan non aksi ASEAN yang mudah ditebak, telah mengikis kepercayaan dan dapat merusak stabilitas regional. Sedangkan diskusi tersebut menyoroti sengketa wilayah yang kompleks yang membahas tentang klaim 9 atau 10 garis putus-putus Tiongkok dan gagalnya perjuangan ASEAN untuk menghasilkan respons terpadu dan kuat untuk segera menghentikan agresi China. Para menteri luar negeri ASEAN juga menekankan perlunya rasa saling percaya dan perdamaian, namun kurangnya tindakan kohesif menggarisbawahi keterbatasan ASEAN dalam mengatasi agresivitas Tiongkok.Â
Berikut kita bahas saja mengenai tantangan dan kegagalan ASEAN dengan sudut pandang yang sama sekali berbeda dengan para pembicara CSIS, ataupun pakar atau pemimpi tentang pakemisasi ASEAN, yang jelas-jelas sangat mencerminkan "ASEAN sebagai kekuatan yang impoten" dan tidak mempunyai solusi nyata. Kita bahas bagaimana cara merubah ide penguatan perekonomian dan penguatan pertahanan ASEAN yang dijamin bisa selalu melejit maju, kuat, berguna, dan mengerikan untuk dicobai oleh China atau negara tetangga lainnya.
1. Erosi Kepercayaan
Konteks Sejarah dan Kepercayaan Awal
ASEAN didirikan untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara melalui kerja sama dan saling menghormati kedaulatan. Intinya adalah prinsip non-intervensi, yang memastikan bahwa negara-negara anggota menghormati urusan dalam negeri masing-masing atau lebih tepatnya hanya menghormati pimpinan negaranya saja dan bukan rakyatnya, sehingga bisa saling menjaga kepercayaan. Inilah kelemahan pertama dalam melindungi rezim diktator dan oligarki seperti Soeharto dan Marcos karena pemaksaan warga negara oleh sang diktator adalah urusan dalam negeri masing-masing, tanpa mengedepankan nilai-nilai humanisme dan demokrasi lokal yang tidak jauh meleset dari nilai umum humanisme dan demokrasi internasional untuk mencapai kesetaraan global.
Kegiatan Reklamasi China
Seperti anggapan kita pada umumnya yang juga seperti yang diproyeksikan oleh China bahwa masalahnya adalah hanya "kegiatan reklamasi yang agresif, termasuk pembangunan pulau-pulau buatan dan instalasi militer, telah melanggar kedaulatan negara-negara seperti Filipina, Indonesia dan Vietnam." Bahkan berbagai tindakan ini telah menyebabkan perselisihan mengenai batas maritim dan akses terhadap sumber daya, yang secara langsung menantang kedaulatan negara-negara ASEAN dan mengikis rasa saling percaya. Padahal alasan yang sebenarnya tidak diungkapkan, yaitu untuk menguji keadaan, bagaimana reaksi negara-negara lain terhadap pencaplokan Taiwan sebagai tujuan utama mereka. Dan selain itu, siapa tahu kalau negara ASEAN diganggu dan berhasil direbut terus pulaunya seperti yang dialami Vietnam, Indonesia dan Filipina, bukannya untung berkali lipat.
Pengujian ini juga untuk menjawab pertanyaan, apakah angkatan lautnya mampu menahan kekuatan militer adidaya nomer 2 di dunia? Â Atau apakah dengan gula-gula ekonomi dan investasi China, maka negara tersebut akan memilih takut melawan atas pencaplokan pulau mereka, dalam rangka menghindari penarikan investasi eksploitasi habis-habisan pertambangan yang tak bertanggung jawab?.Bukti bahwa pemerintah lemah adalah reklamasi tambang, batas laut dan pulau masih dihadapi dengan cara malu-malu untuk melawan. Padahal semuanya hanya perkara propaganda, bahwa urusan investasi sipil bukanlah urusan angkatan laut. Atau pura-pura semua usaha menguasai laut dan pulau itu hanya swasembada para nelayan pribadi China dan cost guard China yang kebablasan. Sehingga mengisyaratkan untuk melepas saja pulau yang diklaim agen China yang rougue atau keluar jalur. Â Karena itu, coast guard Indonesia juga harus bersikap sama dengan lebih tegas mempertahankan batas lautan, tanpa pandang bulu dan berpura pura tidak mengerti juga soal perdagangan ataupun investasi China. Coast guard Indonesia tidak perlu takut, karena sudah latgab dengan AS sehingga bisa saja mengeksploitasi AL AS yang siap di belakangnya atau yang on call sewaktu waktu dibutuhkan.
Kepercayaan Daerah Berkurang
Ketidakmampuan ASEAN untuk merespons tindakan Tiongkok secara kohesif telah melemahkan kepercayaan di antara negara-negara anggota. Negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Tiongkok, seperti Kamboja dan Laos, mempersulit pembentukan sikap bersatu. Rasa frustasi diplomatis terlihat jelas, terutama bagi negara-negara seperti Filipina, yang meminta arbitrase internasional dan menghasilkan keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen pada tahun 2016, namun hanya ditanggapi dengan sikap diam dan kurangnya dukungan dari ASEAN.Â
ASEAN ini harusnya mempunyai anggota tetap inti yang pasti selalu setia dan mendukung penuh setiap keputusan dan harus punya sanksi tegas supaya dihormati oleh setiap anggotanya sendiri. Bukannya lebih baik kehilangan salah satu anggota yang tidak berguna ataupun berharga buat kepentingan bersama? Bagaimana mempunyai organisasi yang anggotanya bebas merongrong terus? Atau kalau sudah dirasa tidak setujuan maka tidak perlu dipertahankan untuk menjaga integritasnya.
Dampak terhadap Kepercayaan Daerah
Militerisasi Tiongkok terhadap pulau-pulau reklamasi atau buatan menimbulkan ancaman langsung terhadap keamanan regional, dan melemahkan kepercayaan terhadap ASEAN yang gagal dalam menjamin keamanan maritim internasional maupun nelayan lokal. Selain itu, rute dan sumber daya maritim penting di Laut Cina Selatan menjadi terancam, yang menciptakan ketidakpastian ekonomi dan mengganggu pemanfaatan perdagangan dan investasi Global.
2. Ketegangan Geopolitik
Latar Belakang Perselisihan
Letak strategis dari laut Cina Selatan dan kekayaan sumber daya maritim, sangat menggiurkan untuk dimiliki, sehingga menimbulkan persaingan klaim teritorial. Termasuk usaha klaim ekspansif Tiongkok, yang didasarkan pada ilusi atau propaganda tentang sembilan garis putus-putus yang ilegal, karena tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) beberapa negara ASEAN. Dan ini adalah salah satu bagian dari strategi besar untuk merebut kembali Taiwan dan menguji negara-negara lain seperti Vietnam, Indonesia, dan Filipina untuk tunduk pada permintaan Tiongkok, karena takut akan ancaman penarikan investasi eksploitasi pertambangan strategis seperti nikel.
Klaim Hukum dan Sejarah
Klaim Tiongkok dalam ilusi sejarah yang ditetapkan belakangan tidak memiliki dasar hukum yang jelas atau sudah dinyatakan melanggar hukum internasional. Putusan PCA pada tahun 2016 menganggap klaim Tiongkok tidak konsisten dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang selalu ditolak Tiongkok yang punya mimpi tentang ilusi 9 dash lines.
Dampak terhadap ASEAN
Klaim Tiongkok mengancam integritas teritorial negara-negara ASEAN dan meningkatkan kekhawatiran keamanan akibat militerisasi di perairan yang disengketakan karena ilusi ilegal. Selain itu, klaim besar-besaran Tiongkok membatasi akses negara-negara ASEAN terhadap sumber daya alam, sehingga berdampak pada kepentingan ekonomi rakyat mereka masing masing atau membahayakan nyawa dan memiskinkan para nelayan disamping juga memicu perselisihan lebih lanjut antara sipil, militer ataupun keduanya. Parahnya, yang sangat keterlaluan, hanya nelayan dan coast guard China yang selalu menjadi pemenang dalam setiap konflik di dalam batas perairan milik negara ASEAN. Kita selalu salah menganggap bahwa agitasi mereka ini bukan diperintah oleh XI Jinping, padahal memang ada instruksi langsung dari Xi. Mana mungkin dalam suatu negara diktator otoriter, masing masing rakyat nelayan atau coast guard boleh menentukan sendiri aksinya? Jadi mulai sekarang kita harus mulai menuding hidung Xi atas kekacauan yang selalu dari hari ke hari terus diciptakan ini. Ingat, bahwa dia adalah pemimpin yang terobsesi persis seperti Putin terhadap Ukraina. DAn Jinping pun demikian terobsesi pada Taiwan sampai kapanpun berapapun ongkosnya.
Respon dan Tantangan ASEAN
Pendekatan pengambilan keputusan ASEAN yang berbasis konsensus pasti selalu berujung pada tidak adanya tindakan, karena setiap anggota secara tidak sadar selalu merongrong ASEAN, dengan alasan memiliki prioritas ilusi ekonomi dan strategis yang berbeda. Sebagai pembanding, apakah setiap anggota EU boleh jalan sendiri dengan program ekonomi atau militer yang menguntungkan diri sendiri dengan tidak malu untuk mengorbankan semua anggota eU? Â Dengan demikian organisasi ini gagal untuk mengupayakan program perekonomian terpadu dan dalam melakukan respons militer terpadu. Prinsip non-intervensi yang membebani dan membatasi kemampuan ASEAN untuk secara kolektif melejit mengatasi semua masalah yang mengkerdilkan ASEAN, sehingga menjadi impoten menghadapi agresi eksternal sekecil apapun. Dengan demikian sangat melemahkan kapasitasnya untuk segera memajukan semua anggotanya dan makin menjauhkan usaha pencapaian kesetaraan dengan EU.
3. Respons ASEAN yang Terbatas
Tantangan Struktural di ASEAN
Pendekatan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus seharusnya juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan voting ketika terjadi kebuntuan, karena ASEAN harusnya menjadi organisasi super modern dan harus menolak menjadi sebuah organisasi yang kadaluwarsa yang hanya menjadi tempat kumpul-kumpul arisan. Justru dalam setiap voting terjadi pencatatan semua suara yang menolak, sehingga tidak hanya suara didengar saja, tetapi dicatat dalam voting ataupun konsensus. Sehingga tindakan ASEAN bisa lebih cepat dan fleksibel berdasarkan keputusan konsensus maupun voting, apalagi magnitude tindakan kolektif yang mengerikan jumlahnya pasti disegani dan tidak perlu takut lagi mempertahankan integritas batas wilayah ASEAN dengan China, ataupun dalam mengatasi isu-isu lainnya dengan integritas yang tinggi.Â
Prinsip saling membantu dan intervensi masih memungkinkan, kalau dibutuhkan atau diminta dalam rangka ASEAN ikut aktif menjaga kedaulatan, yang bisa memperkuat  kapasitas ASEAN untuk melakukan tindakan kolektif. Dengan kemampuan ASEAN yang mengerikan bagi negara manapun, akan membuat semua negara lain takut untuk berilusi apalagi mencobai. Dan kekuatan deterrent ini harus senantiasa dipraktekkan tidak hanya gertakan sambal, dalam model perang urat saraf yang futuristik.
Pengaruh Eksternal dan Tekanan Geopolitik
Kita suka berfikir bahwa, ketergantungan penuh pada ekonomi China mempersulit kemampuan anggota ASEAN untuk mendukung sikap bersatu. Padahal sudah terbukti salah dan sudah ada contoh nyata seperti kasus EU yang berani mengambil langkah drastis dan menghentikan perdagangan dengan Rusia dalam waktu singkat. Kita juga suka berfikir bahwa keterlibatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat menimbulkan kompleksitas tambahan, padahal tidak demikian, karena EU ternyata berhasil bisa mengeksploitasi hubungannya dengan AS dalam krisis Ukraina. Sehingga AS mau dengan suka rela mendukung penuh bahkan diberikan bantuan dana triliunan dollar untuk memecahkan masalah ketergantungan pada Rusia. Sekarangpun perhatian AS sudah semakin menjauh dari Timur Tengah dan mengkonsentrasikannya pada South China Sea, berarti ada gayung bersambut, untuk kita eksploitasi lebih jauh lagi. Jadi mengapa masih memberati diri dengan ketergantungan penuh pada China, apa karena uang siluman?
Dengan demikian apakah negara-negara ASEAN masih takut dan terjebak oleh China dengan slogan kuno "Menyeimbangkan hubungan dengan Tiongkok dan Amerika Serikat?" Padahal sudah tahu dan terbukti bahwa para nelayan dan coast guard China merongrong perbatasan dan berusaha merebut pulau atau wilayah milik Indonesia dan anggota ASEAN lainnya. Kita ini rasanya senang sekali bernostalgia menggunakan perspektif utopia integritas nasional yang sangat merugikan dengan diterornya para nelayan yang ditengah lautan sendirian mempertahankan perbatasan laut kita. Angkatan laut juga perlu berlatih meniru berbagai cara agresif supaya mengerti dan belajar dalam situasi serupa apa cara deterrent yang paling efektif.
Jika masing-masing anggota ASEAN ingin membebaskan diri dari integritas palsu dan bersekutu atau mengeksploitasi kekuatan AL dan kekuatan ekonomi AS seperti EU, Jepang dan Korea Selatan, maka hasilnya akan berbeda, dan tidak terjebak dalam ketergantungan ekonomi pada China, atau setidaknya lebih diversified atau seimbang dan tidak merasa tergantung pada China sama sekali. Jadi ASEAN dan Indonesia sebagai anggota harus tetap terus berusaha membentuknya menjadi organisasi yang lebih merdeka dan berintegritas, tanpa perlu harus menghamba pada tuan besar. Apakah mungkin mengeksploitasi China seperti mengeksploitasi AS? Mungkin saja kalau kita berani mencoba, dan tidak harus menghamba terus.
Kurangnya Mekanisme Penegakan yang Kuat
Kita tahu ASEAN tidak memiliki mekanisme pertahanan kolektif, sehingga sangat membatasi kemampuan pencegahannya, oleh karena itu kita harus berani memimpin dan mendobrak kekuatan yang besar yang mandul karena telah kita pasung sendiri .Pasungan ini terbukti menunda respon reaksi cepat, apalagi implementasi perjanjian ASEAN yang serba mengambang semakin melemahkan efektivitas respons ASEAN, apakah kita menikmati status quo ini?. Meskipun beberapa anggota ASEAN telah berhasil mengirimkan pasukan penjaga perdamaian PBB ke seluruh dunia, tetapi enggan memberesi rumah tangganya sendiri. Â Gunakanlah pasukan pembela perdamaian didalam ASEAN dan di perbatasan atau dibatas perairan. Mereka pasti jago bernegosiasi dan bermediasi dengan nelayan atau coast guard China.
Mengapa hingga sampai saat ini belum juga ada usaha nyata untuk membentuk Southeast Asia Treaty (SEAT) atau Perjanjian Asia Tenggara supaya mirip atau setara dengan  NATO sebagai detterent atas semua kekuatan yang tidak diinginkan atau tidak bersahabat di perbatasan ASEAN. Deterrent berarti tidak menyerang ataupun tidak perlu sampai perang mempertahankan batas. Selain itu deterrent juga berfungsi dalam negeri untuk mengancam tindakan subversif yang tidak demokratis ataupun yang tidak manusiawi.
4. Seruan untuk Persatuan dan Pengendalian Diri
Upaya Diplomatik
Kita menyenangi juga slogan bahwa ASEAN mendorong rasa saling percaya dan menahan diri untuk mencegah konflik dan menjaga stabilitas. Tetapi buktinya dari menahan diri ini adalah gangguan perbatasan oleh China tidak ada penyelesain pastinya. Ataupun menahan diri atas perang saudara di Myanmar tanpa ada konsensus atau voting untuk mempertahankan perdamaian seperti yang sudah sering dilakukan dalam pasukan perdamaian PBB.Â
Dan ASEAN masih terbelenggu sehingga gagal untuk menetapkan Kode Etik yang mengikat di Laut China Selatan, ini sebetulnya bukan merupakan tantangan bagi organisasi yang berbasis konsensus, mengingat mayoritas suara bisa saja memaksa untuk bersatu dalam bentuk konsensus spin off. Hal ini jelas merupakan kegagalan karena selalu menahan diri dan bukannya menjadi kekuatan pencegah yang besar dan menakutkan negara lain yang ingin mencoba.
Tantangan terhadap Aksi Terpadu
Kita ingin mempercayai bahwa ASEAN setiap saat bisa mampu dengan cepat melakukan Aksi Kolektif dan Terpadu. Perbedaan ekonomi dan strategis di antara negara-negara anggota tidak harus mempersulit pembentukan sikap terpadu, karena dalam keterpaduan ada upaya mengangkat ketertinggalan yang lain dengan memberikan insentif atau laboratorium pengembangan yang bisa dipakai sebagai obyek demokrasi dan keadilan sosial.. Pengaruh eksternal dari negara-negara besar bisa difilter oleh ASEAN sendiri dengan aktif terlibat bagaikan pengganti negara besar. Semakin intens pengembangan negara yang tertinggal bagaikan Jerman yang membantu Yunani maka kesenjangan internal akan semakin hilang.Â
Dari perspektif lain, hal ini dapat dibagi menjadi kekuatan komunitas kolektif dari semua perbedaan potensi dan kekuatan, sesuai dengan pemanfaatannya. Jadi fokusnya bukan perbedaan yang memecah-belah lagi tetapi menjadi saling mengisi dan membutuhkan. Selama ini memang tampaknya kurang memiliki kepemimpinan yang menyatukan, padahal Indonesia mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika atau persatuan dalam keberagaman. Saling menghormati antar pemimpin bukan berarti sikap hormat menjadi lemah dan tetap memecah belah. Sebenarnya upaya untuk meningkatkan kekuatan ekonomi dan militer merupakan bentuk status terhormat hal yang paling tinggi, dari pada hormat pada simiskin dan lemah. Juga perlu berbuat lebih banyak dari pada hanya selalu self restraint atau pengendalian diri seperti sekarang ini. Saat itu situasinya memang perlu sekali self restraint, karena dorongan konflik internal perbatasan ASEAN besar, Â ketika saat itu China belum mengancam akan menyerang setiap pulau atau menguasai perbatasan laut, namun kini situasinya sudah berubah.
Implikasinya terhadap Stabilitas Regional
Kesenjangan antara seruan diplomatik ASEAN dan kurangnya penegakan hukum telah lama mengikis kredibilitas, sehingga aktor-aktor eksternal memandang ASEAN tidak efektif. Untuk meningkatkan efektivitas, ASEAN memerlukan rasionalisasi mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat dan perjanjian yang mengikat. Membangun kohesi dengan mengatasi kesenjangan ekonomi dan menyelaraskan kepentingan strategis di antara negara-negara anggota sangat penting untuk persatuan yang lebih besar.Â
ASEAN juga sudah harus memikirkan masa depan yang setara atau lebih baik dari EU, kalau perlu membuang jauh ketakutan akan hilangnya rasa hormat pada pemimpin anggota yang lain atau self restraint yang serba membelenggu dan menghambat penghargaan atas demokrasi dan hak asasi rakyat pemilik ASEAN sesungguhnya, jadi bukan penghormatan pada pemimpin bengisnya.
Kesimpulan. ASEAN menghadapi tantangan signifikan dalam menangani reklamasi agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan. Kegagalan untuk merespons secara kohesif menunjukkan keterbatasan struktural, prinsip non-intervensi yang berlebihan, dan tekanan geopolitik yang menghambat aksi terpadu. Kritik terhadap kelemahan ASEAN menyoroti erosi kepercayaan antar anggota dan ketidakmampuan untuk menetapkan kebijakan kolektif yang kuat. Reformasi mendasar diperlukan untuk memperkuat institusi ASEAN, mengatasi ketidaksetaraan ekonomi, dan mengembangkan mekanisme penegakan yang efektif guna menjaga stabilitas regional dan menghadapi tantangan eksternal dengan lebih tegas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H