Sekembalinya dari toilet, saya
langsung duduk di samping Mas Budi, tapi gelas kosong tadi tidak lagi terlihat.
“Gimana Mas?” Tanya saya.
“Wah.. saya kena tipu Mas. Padahal
uang yang dua puluh ribu tadi uang saya yang terakhir.” Jawab Mas Budi memelas.
“Sekarang gelasnya mana?”
“Ya dibawa sama petugas tadi.”
Di benak saya yang pernah belajar teori konspirasi
langsung tergambar peta negatif. “Kok bisa?! Dia bilang tadi Mas ditipu sama
preman Cirebon?! Kok gelasnya dia ambil?? Mas kan udah bayar dua puluh ribu
sama preman tadi?! Dan preman tadi tidak kembali lagi ke sini. Berarti dia
menjual kopi susu sekaligus dengan gelasnya! Artinya!, gelas tadi harusnya
milik Mas Budi! Bukankah petugas tadi mengaku tidak pernah menjual kopi susu ke
Mas Budi?! Tapi kenapa gelasnya dia ambil?! Saya curiga, jangan-jangan ini emang
kerjaan oknum-oknum restorasi.”
Mas Budi diam bingung.
“Ambil gelasnya Mas!” seru saya
dengan nada agak tinggi bersaing dengan deru roda kereta menggilas rel.
“Ini bukan masalah gelasnya! Harga
gelas paling berapa sih?! Tapi ini masalah harga diri! Masa’ Mas Budi mau ditipu dua kali?!
Mas Budi masih mematung.
“Kalo Mas Budi gak mau ambil gelas
tadi, saya yang bakal datengin restorasi buat ngambil gelas Mas Budi!”