Hari Minggu yang dirindukan namun juga tak ingin dijalani. Seandainya bisa, hari itu aku loncati sehingga aku terbebas darinya.Â
Berbulan, bahkan bertahun lamanya peristiwa di hari Minggu itu kuramalkan bakal terjadi. Namun tetap saja, kedatangannya membuat jantung berdebar kencang.
Enam tahun telah lewat sejak hari pertemuan murid baru di sekolah kami. Suatu hari, kami para guru mengajak para siswa baru bertamasya.Â
Kami memilih tempat  di sebuah tempat rekreasi di lereng gunung yang memiliki goa. Tempat itu begitu mashur sehingga banyak didatangi pelancong.
Aku menyertai para siswa sejak dari halaman sekolah hingga tempat acara pengenalan sekolah itu diadakan. Dalam mobil bis yang kami tumpangi, anak-anak terdengar riuh bernyanyi dan bersenda gurau. Hingga kabin bis seakan mau pecah saking ramainya.
Aku tidak sendiri. Dalam mobil itu juga terdapat anak sulungku, Bagas. Ia melebur bersama teman-temannya. Memberi andil dalam keriuhan itu.Â
Bagas jadi bulan-bulanan teman-temannya. Mereka tak henti menggodanya. Karena apa lagi kalau bukan karena parasnya yang lumayan ganteng.
Dalam keriuhan itu, samar terdengar namannya disanding-sandingkan dengan Namira. Ia seorang siswi yang berparas manis.Â
Hidungnya bangir dan bermata besar, mirip-mirip orang India-lah. Bagas seolah tak acuh dengan ulah teman-temannya. Tampaknya ia pun mengiyakan apapun kata mereka.
Hari-hari berjalan. Kedua siswaku, yang dipersandingkan dalam bis wisata itu pun menjalani masa sekolah mereka.Â
Nyaris tak ada perbedaan yang mencolok antara mereka dengan puluhan teman yang lain. Rajin datang ke sekolah dan melakukan aktifitas sebagai seorang pelajar.
Suatu hari, Bagas ku mencurahkan isi hati. Ia kecewa pada sekolah. Pada sederet nama guru yang ia anggap pilih kasih. Memberi perlakuan yang berbeda padanya.Â
Pasalnya, ia tak diikutkan dalam kompetisi sains yang diadakan di negeri Singa, Singapura. Ia merasa layak untuk dipilih dalam lomba. Menyertai Namira dan seorang siswi yang lain.
Aku memahami kerisauannya. Sebagai pengajar di sekolah yang sama, aku mengetahui cukup baik kemampuannya. Prestasinya tak kalah moncer dengan Namira dan dua rekannya itu.Â
Para guru pun acap memujinya. Namun, aku tak ingin lebih jauh mencampuri soal ini. Aku memberinya pengertian. Mencoba menjinakan emosinya yang meletup-letup.
Bagas meski kecewa namun ia mau menerima penjelasanku. Menjadi seorang peserta kontes tingkat internasional tentu memerlukan pertimbangan yang kompleks.Â
Pertimbangan yang terkadang tak mampu kita pahami. Para guru tentu memiliki pertimbangan yang tak kita ketahui. Belakangan, kekecewaan itu terobati.Â
Dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri, Bagas lulus masuk ke tempat pilihannya. Kali ini, "tangan-tangan" kuat di sekolah tak kuasa menghentikan langkahnya. Ia melenggang bersama Namira, ke perguruan tinggi pilihannya masing-masing.
Kedekatan keduanya tergambar sepintas dalam acara panggung gembira, selepas wisuda sekolah. Bagas tampil bersama Namira dalam satu panggung.Â
Mereka tampil sebagai band pengiring. Keduanya kedapatan saling lirik, meski terkesan malu-malu. Aku yang menyaksikan dari kejauhan, lirih melantunkan doa, semoga yang di atas mempersatukan kalian.
Tak lama lagi, Bagas akan merampungkan studinya. Bila semesta mendukung, Ia akan lulus dalam dua atau tiga bulan menjelang. Dan bila telah lulus, ia akan menyandang gelar sarjana tentunya. Satu kebanggaan, tidak saja baginya namun juga bagiku dan setiap orang tua di kolong langit ini.
Suatu hari, Bagas mengajaku dan ibunya duduk di ruang tamu. Tampaknya, ia ingin menyampaikan hal yang maha penting. Tampak dari air mukanya yang sedikit tegang, dan nafasnya yang terengah-engah.
"Pah, bisa kita bicara sebagai orang dewasa?" katanya.
"Tentu, dan papah pikir kami telah cukup dewasa!" jawabku.
"Orang tua Namira mengundang untuk bertemu", sambungnya.
Aku dan istri saling pandang. Telah cukup lama kami tak membicarakannya, seiring kelulusan mereka dari sekolah lanjutan. Tiba-tiba, nama yang indah itu diucapkan kembali oleh anak bujang kami.Â
Aku masih tak percaya. Heran bercampur suka. Heran karena kami berpikir gadis itu telah jauh dari hidup kami. Dan suka tentu saja karena ternyata, dugaan kami meleset.
Kegembiraan kami berlipat dua, saat si bujang mengatakan bila kedekatan mereka menjurus ke langkah yang lebih serius. Meniti titian ke mahligai rumah tangga.Â
Istriku tak kuasa membendung rasa haru. Bangga pada keduanya, yang mampu merawat api cinta mereka justru dengan cara mematikannya. Selama ini mereka hampir tak pernah terlihat saling bertemu. Â Â
Menemui orang tua Namira bukan hal sederhana bagi kami. Berkunjung untuk yang pertama kali tentu mendatangkan kecanggungan.Â
Terlebih, hal yang akan dibicarakan dalam pertemuan adalah hal yang bahkan gunung dan samudera pun tak mampu menanggungnya: pertunangan. Dan kami harus berada dalam pusaran itu. Â
Siapa pun di kota ini, terutama mereka yang bergelut dalam dunia akademis, tak akan asing dengan keluarga Namira. Ayahnya seorang terpandang di sebuah perguruan tinggi paling top negeri ini. R
eputasinya sebagai pengajar dengan sederet embel-embel: dosen jenius, lulusan luar negeri, suma cum laude, dst. Masih ditambah predikat: owner perusahaan IT nomor wahid, pemuka organisasi social keagamaan, anggota klub orang terpandai di dunia, dst.
Hari Minggu pagi itu kami berdandan rapi. Aku mengenakan batik hijau lengan panjang dipadu celana panjang warna coklat. Istriku mengenakan gaun merah muda kesayangannya, dengan kerudung warna senada.Â
Dan si bujang kami, mengenakan kemeja kotak-kotak biru. Dua adiknya mengenakan baju terbaiknya. Kami berbaris, seperti tentara, di depan pintu rumah Namira.Â
Si bujang mengucap salam, mengetuk pintu, dan mengelap keringat yang mengalir deras dari kening.
Dari balik pintu terdengar kaki melangkah. Pintu terbuka setelah diawali salam. Sesosok gadis muda berkerudung, mengangguk takzim pada kami. Lekuk hidungnya terlihat indah, menimpali sepasang mata yang sama-sama indah.Â
Bebat masker tak kuasa menyembunyikan kejelitaan si gadis. Aku merangsek ke depan, hendak menyodorkan tangan kepadanya. Namun, istri keburu menepis, "Hus, jaga sikap", katanya. Aku pun urung melangkah.
Kami dipersilakan menunggu di ruang tamu. Tak lama, Bapak dan ibu Namira datang. Sosok lelaki terpandang itu menghampiri. Badannya yang besar, menyiutkan nyali kami yang kecil.Â
Suaranya yang nyaring, semakin mengempaskan perasaan kami. Aku mencoba untuk tegar, teringat dulu waktu berhadapan dengan bapak mertua. Sebaris mantra pun ku gumamkan, seguru.. seilmu.. jangan saling mengganggu. Eh,...
"Oh, antum rupanya."
Begitu sapaan beliau, yang disertai senyuman lebar, sesaat setelah melihatku. Aku mengangguk menghaturkan salam hormat. Aku mengiyakan, memberi persetujuan padanya bila kami memang sudah pernah saling bertemu. Namun, antara kami tidak mengenal dekat.
Sebagai seorang yang pernah nyantri, meski tak tamat, aku begitu tersanjung dengan sapaan pembuka itu. Sapaan yang galibnya ditujukan untuk orang banyak, plural, namun ditujukan untuk seseorang, singular, sebagai tanda penghormatan.Â
Sapaan yang menandakan bila beliau begitu memuliakan tamunya. Dan rasa hormat semakin bertambah seiring obrolan kami yang terus mengalir.
Aku bersyukur menjalani hari Minggu itu. Satu pagi yang mengawali perubahan pada hidup kami. Peristiwa yang menandai bertambahnya anggota keluarga kami. Terima kasih Tuhan, atas anugerahmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H