eputasinya sebagai pengajar dengan sederet embel-embel: dosen jenius, lulusan luar negeri, suma cum laude, dst. Masih ditambah predikat: owner perusahaan IT nomor wahid, pemuka organisasi social keagamaan, anggota klub orang terpandai di dunia, dst.
Hari Minggu pagi itu kami berdandan rapi. Aku mengenakan batik hijau lengan panjang dipadu celana panjang warna coklat. Istriku mengenakan gaun merah muda kesayangannya, dengan kerudung warna senada.Â
Dan si bujang kami, mengenakan kemeja kotak-kotak biru. Dua adiknya mengenakan baju terbaiknya. Kami berbaris, seperti tentara, di depan pintu rumah Namira.Â
Si bujang mengucap salam, mengetuk pintu, dan mengelap keringat yang mengalir deras dari kening.
Dari balik pintu terdengar kaki melangkah. Pintu terbuka setelah diawali salam. Sesosok gadis muda berkerudung, mengangguk takzim pada kami. Lekuk hidungnya terlihat indah, menimpali sepasang mata yang sama-sama indah.Â
Bebat masker tak kuasa menyembunyikan kejelitaan si gadis. Aku merangsek ke depan, hendak menyodorkan tangan kepadanya. Namun, istri keburu menepis, "Hus, jaga sikap", katanya. Aku pun urung melangkah.
Kami dipersilakan menunggu di ruang tamu. Tak lama, Bapak dan ibu Namira datang. Sosok lelaki terpandang itu menghampiri. Badannya yang besar, menyiutkan nyali kami yang kecil.Â
Suaranya yang nyaring, semakin mengempaskan perasaan kami. Aku mencoba untuk tegar, teringat dulu waktu berhadapan dengan bapak mertua. Sebaris mantra pun ku gumamkan, seguru.. seilmu.. jangan saling mengganggu. Eh,...
"Oh, antum rupanya."
Begitu sapaan beliau, yang disertai senyuman lebar, sesaat setelah melihatku. Aku mengangguk menghaturkan salam hormat. Aku mengiyakan, memberi persetujuan padanya bila kami memang sudah pernah saling bertemu. Namun, antara kami tidak mengenal dekat.
Sebagai seorang yang pernah nyantri, meski tak tamat, aku begitu tersanjung dengan sapaan pembuka itu. Sapaan yang galibnya ditujukan untuk orang banyak, plural, namun ditujukan untuk seseorang, singular, sebagai tanda penghormatan.Â