Nyaris tak ada perbedaan yang mencolok antara mereka dengan puluhan teman yang lain. Rajin datang ke sekolah dan melakukan aktifitas sebagai seorang pelajar.
Suatu hari, Bagas ku mencurahkan isi hati. Ia kecewa pada sekolah. Pada sederet nama guru yang ia anggap pilih kasih. Memberi perlakuan yang berbeda padanya.Â
Pasalnya, ia tak diikutkan dalam kompetisi sains yang diadakan di negeri Singa, Singapura. Ia merasa layak untuk dipilih dalam lomba. Menyertai Namira dan seorang siswi yang lain.
Aku memahami kerisauannya. Sebagai pengajar di sekolah yang sama, aku mengetahui cukup baik kemampuannya. Prestasinya tak kalah moncer dengan Namira dan dua rekannya itu.Â
Para guru pun acap memujinya. Namun, aku tak ingin lebih jauh mencampuri soal ini. Aku memberinya pengertian. Mencoba menjinakan emosinya yang meletup-letup.
Bagas meski kecewa namun ia mau menerima penjelasanku. Menjadi seorang peserta kontes tingkat internasional tentu memerlukan pertimbangan yang kompleks.Â
Pertimbangan yang terkadang tak mampu kita pahami. Para guru tentu memiliki pertimbangan yang tak kita ketahui. Belakangan, kekecewaan itu terobati.Â
Dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri, Bagas lulus masuk ke tempat pilihannya. Kali ini, "tangan-tangan" kuat di sekolah tak kuasa menghentikan langkahnya. Ia melenggang bersama Namira, ke perguruan tinggi pilihannya masing-masing.
Kedekatan keduanya tergambar sepintas dalam acara panggung gembira, selepas wisuda sekolah. Bagas tampil bersama Namira dalam satu panggung.Â
Mereka tampil sebagai band pengiring. Keduanya kedapatan saling lirik, meski terkesan malu-malu. Aku yang menyaksikan dari kejauhan, lirih melantunkan doa, semoga yang di atas mempersatukan kalian.
Tak lama lagi, Bagas akan merampungkan studinya. Bila semesta mendukung, Ia akan lulus dalam dua atau tiga bulan menjelang. Dan bila telah lulus, ia akan menyandang gelar sarjana tentunya. Satu kebanggaan, tidak saja baginya namun juga bagiku dan setiap orang tua di kolong langit ini.