Suatu hari, Bagas mengajaku dan ibunya duduk di ruang tamu. Tampaknya, ia ingin menyampaikan hal yang maha penting. Tampak dari air mukanya yang sedikit tegang, dan nafasnya yang terengah-engah.
"Pah, bisa kita bicara sebagai orang dewasa?" katanya.
"Tentu, dan papah pikir kami telah cukup dewasa!" jawabku.
"Orang tua Namira mengundang untuk bertemu", sambungnya.
Aku dan istri saling pandang. Telah cukup lama kami tak membicarakannya, seiring kelulusan mereka dari sekolah lanjutan. Tiba-tiba, nama yang indah itu diucapkan kembali oleh anak bujang kami.Â
Aku masih tak percaya. Heran bercampur suka. Heran karena kami berpikir gadis itu telah jauh dari hidup kami. Dan suka tentu saja karena ternyata, dugaan kami meleset.
Kegembiraan kami berlipat dua, saat si bujang mengatakan bila kedekatan mereka menjurus ke langkah yang lebih serius. Meniti titian ke mahligai rumah tangga.Â
Istriku tak kuasa membendung rasa haru. Bangga pada keduanya, yang mampu merawat api cinta mereka justru dengan cara mematikannya. Selama ini mereka hampir tak pernah terlihat saling bertemu. Â Â
Menemui orang tua Namira bukan hal sederhana bagi kami. Berkunjung untuk yang pertama kali tentu mendatangkan kecanggungan.Â
Terlebih, hal yang akan dibicarakan dalam pertemuan adalah hal yang bahkan gunung dan samudera pun tak mampu menanggungnya: pertunangan. Dan kami harus berada dalam pusaran itu. Â
Siapa pun di kota ini, terutama mereka yang bergelut dalam dunia akademis, tak akan asing dengan keluarga Namira. Ayahnya seorang terpandang di sebuah perguruan tinggi paling top negeri ini. R