Nama: Ivanka Syifa Zettira
NIM/Kelas: 222111071/HES 5B
Salah Satu Masalah Hukum Ekonomi Syariah Yang Ada Ditengah Masyarakat Yang Sedang ViralÂ
Salah satu masalah hukum ekonomi syariah yang sedang viral di masyarakat adalah praktik "fake order" di platform belanja online seperti TikTok Shop dan marketplace lainnya. Dalam kasus ini, penjual melakukan pemesanan palsu atau fake order untuk meningkatkan penilaian toko dan menarik lebih banyak konsumen. Praktik ini dikenal dalam hukum Islam sebagai bai' najasy, yakni rekayasa permintaan pasar yang dilarang karena mengandung unsur gharar(ketidakpastian).
Meskipun praktik ini haram, akad jual beli tetap dianggap sah selama rukun dan syarat jual beli dipenuhi. Namun, dari sudut pandang etika bisnis Islam, praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip transparansi dan kejujuran dalam transaksi.
Kasus fake order ini menjadi perhatian di platform belanja online yang terus berkembang, dan sering kali sulit bagi pembeli untuk membedakan antara transaksi yang sah dengan yang direkayasa.
Tentukan Apa Kaidah-Kaidah  Hukum yang Terkait Dengan Kasus Hukum Ekonomi Syariah Yang Sedang Viral
Dalam kasus hukum ekonomi syariah terkait fake order di platform belanja online, beberapa kaidah hukum antara lain:Â
1. Kaidah Gharar (Ketidakpastian): Â Gharar mengacu pada ketidakpastian dalam transaksi yang dapat merugikan salah satu pihak. Praktik fake order mengandung gharar karena adanya ketidakpastian mengenai jumlah dan kualitas permintaan yang sebenarnya di pasar. Pembeli ditipu oleh gambaran permintaan yang tidak nyata, sehingga keputusan mereka untuk membeli didasarkan pada informasi yang menyesatkan.
2. Kaidah Bai' Najasy: Â Bai' najasy adalah bentuk manipulasi dalam jual beli, di mana pihak ketiga membuat tawaran palsu untuk menaikkan harga atau menampilkan permintaan yang tidak sesuai kenyataan. Ini dianggap haram dalam hukum syariah karena memanipulasi pasar secara tidak etis, dan bertentangan dengan prinsip kejujuran dalam transaksi.
3. Kaidah Itikad Baik (Husn al-Niyyah): Setiap transaksi dalam hukum Islam harus dilakukan dengan niat baik, transparansi, dan saling menguntungkan. Praktik fake order melanggar kaidah ini karena penjual dengan sengaja menipu konsumen untuk mempercayai bahwa produk mereka lebih laku dari kenyataannya, yang bertentangan dengan prinsip itikad baik.
4. Kaidah Larangan Penipuan (Taghrir): Dalam syariah, penipuan atau taghrir dilarang keras. Penjual yang menggunakan fake order melakukan penipuan secara terselubung dengan memberikan kesan palsu mengenai popularitas dan kualitas produk.
5. Kaidah Akad Sahih (Transaksi yang Sah): Walaupun fake order haram, akad jual beli yang terjadi masih bisa dianggap sah jika rukun dan syarat jual beli terpenuhi, seperti adanya penjual, pembeli, objek yang dijual, dan ijab kabul yang sesuai. Namun, etika dalam proses transaksi tetap dilanggar.
Prinsip-prinsip ini menjadi landasan dalam menilai keabsahan dan etika dalam praktik ekonomi syariah, khususnya di ranah digital yang semakin berkembang.
Tentukan apa norma-norma hukum yang terkait dengan kasus Hukum Ekonomi Syariah yang sedang viral
Norma-norma hukum yang terkait dengan kasus "fake order" dalam hukum ekonomi syariah mencakup prinsip-prinsip yang menjamin keadilan, kejujuran, dan transparansi dalam transaksi. Beberapa norma hukum tersebut antara lain:
1. Norma Keadilan
Hukum syariah menekankan pentingnya keadilan dalam transaksi (al-'adl). Praktik fake order melanggar norma ini karena menciptakan ilusi permintaan yang tidak adil, merugikan konsumen dengan memberikan informasi yang salah tentang popularitas produk. Keadilan adalah salah satu prinsip fundamental dalam Islam yang melarang segala bentuk manipulasi pasar.
2. Norma Kejujuran (Amanah)Â
Kejujuran adalah kunci dalam setiap transaksi dalam ekonomi syariah. Norma ini mengharuskan pelaku usaha untuk bersikap jujur dan transparan dalam kegiatan bisnisnya. Melakukan fake order jelas bertentangan dengan norma kejujuran, karena penjual menipu konsumen dengan informasi palsu tentang pesanan yang sebenarnya tidak ada.
3. Norma Larangan Penipuan (Taghrir)
Penipuan (taghrir) dilarang dalam hukum Islam. Dalam hal ini, fake order merupakan bentuk nyata dari penipuan di mana pihak penjual dengan sengaja menyesatkan pembeli tentang jumlah pesanan yang masuk untuk produk tertentu. Norma ini melarang segala bentuk aktivitas yang dapat merugikan pihak lain karena penipuan atau manipulasi.
4. Norma Kepastian (Tidak Boleh Ada Gharar)
Gharar, atau ketidakpastian, juga dilarang dalam transaksi ekonomi syariah. Norma ini menuntut adanya kepastian dalam hal informasi dan kondisi transaksi. Dalam kasus fake order, unsur gharar muncul karena pembeli tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari produk atau layanan yang mereka beli, menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan dalam transaksi.
5. Norma Larangan Bai' Najasy (Manipulasi Pasar)
Bai' najasy merupakan istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada manipulasi pasar. Norma ini melarang pelaku pasar melakukan tindakan yang dapat memengaruhi harga atau persepsi konsumen secara tidak sah, seperti membuat pesanan palsu untuk menciptakan kesan permintaan yang tinggi.
6. Norma Perlindungan Konsumen Â
Hukum Islam juga mengakui hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan. Norma perlindungan konsumen ini memastikan bahwa pembeli tidak tertipu oleh praktik-praktik curang seperti fake order, sehingga mereka dapat membuat keputusan pembelian yang berdasarkan informasi yang akurat.
Norma-norma hukum ini mencerminkan nilai-nilai inti dalam hukum ekonomi syariah yang melarang segala bentuk penipuan, ketidakpastian, dan manipulasi dalam transaksi bisnis.
Tentukan apa aturan-aturan hukum yang terkait dengan Kasus Hukum Ekonomi Syariah yang sedang viral
Untuk kasus hukum ekonomi syariah terkait **fake order** di platform belanja online seperti TikTok Shop, beberapa aturan hukum dan pasal yang relevan dalam konteks hukum positif Indonesia dan hukum Islam antara lain:
1. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)Â
- Pasal 4: Hak-hak konsumen, seperti hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang atau jasa. Dalam hal fake order, hak konsumen atas informasi yang akurat dilanggar karena informasi yang disampaikan tidak mencerminkan kondisi permintaan yang sebenarnya.Â
- Pasal 9: Melarang pelaku usaha untuk memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan mengenai produk atau jasa yang diperdagangkan. Fake order jelas melanggar ketentuan ini karena menciptakan ilusi permintaan tinggi yang tidak nyata.Â
 2. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE)
- Pasal 28 Ayat (1): Larangan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang dapat merugikan konsumen dalam transaksi elektronik. Dalam kasus *fake order*, ini dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menyesatkan karena memberikan kesan permintaan palsu terhadap suatu produk.Â
  Â
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
- Pasal 1320: Syarat sahnya perjanjian, di mana salah satunya adalah kesepakatan yang jujur antara para pihak. Jika penjual melakukan manipulasi data dengan fake order, ini dapat dipandang sebagai pelanggaran prinsip kesepakatan yang sah dalam perjanjian.Â
- Pasal 1338: Prinsip kebebasan berkontrak yang diikat oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Fake order dapat dipandang bertentangan dengan kesusilaan.Â
4. Hukum Syariah
- Bai' Najasy: Dalam syariah, bai' najasy adalah istilah untuk tindakan manipulasi pasar yang dilarang, termasuk fake order yang bertujuan untuk menaikkan harga atau meningkatkan persepsi permintaan secara palsu.Â
- Gharar: Larangan melakukan transaksi yang mengandung ketidakpastian atau penipuan. Fake order melibatkan unsur gharar karena pembeli tidak memiliki kepastian tentang kondisi pasar yang sebenarnya.Â
- Taghrir (Penipuan): Hukum syariah melarang segala bentuk penipuan dalam jual beli. Fake order adalah bentuk taghrir yang dilakukan oleh penjual untuk menyesatkan pembeli mengenai popularitas atau permintaan produk.Â
 5. Fatwa DSN-MUI
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) -- MUI: Fatwa terkait etika bisnis Islam dan prinsip kejujuran dalam transaksi. Meskipun fatwa ini tidak mengatur secara spesifik tentang fake order, prinsip-prinsip yang diatur, seperti larangan bai' najasy dan gharar, sangat relevan.Â
Dalam hukum Islam, manipulasi pasar yang disengaja seperti fake order adalah bentuk penipuan yang dilarang, dan hukum positif Indonesia juga mendukung perlindungan konsumen serta integritas dalam transaksi.
Bagaimana pandangan aliran positivisme hukum dan sociological jurispudensi dalam menganalisis kasus hukum ekonomi syariah fake order di tiktok shop
Aliran positivisme hukum dan sociological jurisprudence memiliki pendekatan yang berbeda dalam menganalisis kasus hukum ekonomi syariah terkait dengan fake order di TikTok Shop. Berikut adalah pandangan masing-masing aliran terhadap kasus ini:
 1. Pandangan Positivisme Hukum
Positivisme hukum adalah aliran yang menekankan bahwa hukum harus dipandang sebagai aturan-aturan yang berlaku secara formal, terlepas dari moralitas atau aspek sosial. Menurut pandangan ini, hukum adalah kumpulan aturan tertulis yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, dan yang penting adalah kepatuhan terhadap hukum tersebut.
- Penekanan pada aturan tertulis: Positivisme hukum akan menganalisis kasus fake order dari sudut pandang aturan hukum yang berlaku, seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jika tindakan fake order terbukti melanggar ketentuan yang ada dalam hukum positif, maka tindakan tersebut dianggap ilegal, dan pelaku harus dihukum berdasarkan aturan yang ada.
- Tidak melihat aspek moral atau sosial: Positivisme hukum cenderung tidak memedulikan apakah tindakan fake order ini dianggap tidak bermoral atau bertentangan dengan prinsip etika bisnis Islam. Jika hukum positif tidak secara eksplisit melarang fake order, maka positivisme hukum tidak akan mempersoalkan tindakan tersebut secara normatif.
- Â Penegakan hukum yang ketat: Bagi kaum positivis, solusi terhadap kasus ini adalah dengan menegakkan aturan hukum yang ada secara tegas, tanpa memperhatikan faktor sosial atau etika. Penjual yang terbukti melakukan fake order harus diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti dikenakan denda atau hukuman pidana sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen dan UU ITE.
 2. Pandangan Sociological Jurisprudence
Sociological jurisprudence adalah aliran yang melihat hukum dalam konteks sosialnya. Menurut aliran ini, hukum tidak hanya sekadar aturan tertulis, tetapi juga merupakan refleksi dari dinamika sosial, budaya, dan ekonomi. Hukum harus dilihat dalam konteks bagaimana aturan tersebut diterapkan dalam masyarakat, serta bagaimana hukum tersebut memengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan sosial.
- Melihat dampak sosial dari fake order: Sociological jurisprudence akan melihat kasus *fake order* dari perspektif dampak sosial yang ditimbulkannya. Praktik fake order dianggap merugikan konsumen dan menciptakan ketidakpercayaan dalam transaksi online. Ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada struktur pasar dan perilaku konsumen secara keseluruhan. Aliran ini akan menekankan bahwa hukum harus berkembang untuk mengatasi masalah sosial yang muncul, seperti kepercayaan konsumen terhadap platform online.
- Perubahan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat: Dalam pandangan ini, hukum harus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan kebiasaan masyarakat. Sociological jurisprudence akan mendorong adanya regulasi yang lebih ketat terkait transaksi di platform belanja online, karena praktik seperti *fake order* menciptakan ketidakadilan bagi konsumen. Selain itu, hukum syariah juga harus diperkuat untuk menjawab tantangan ekonomi digital yang berkembang.
- Pentingnya norma sosial dan moral: Berbeda dengan positivisme hukum yang hanya berfokus pada aturan tertulis, sociological jurisprudence akan mempertimbangkan norma-norma etika dan moral dalam masyarakat. Praktik *fake order* bertentangan dengan nilai kejujuran dan keadilan yang dipegang oleh masyarakat, termasuk dalam hukum ekonomi syariah. Oleh karena itu, aliran ini akan menekankan pentingnya hukum yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan etika, bukan hanya aturan formal.
 Kesimpulan:
- Positivisme hukum akan menganalisis kasus fake order di TikTok Shop berdasarkan hukum tertulis yang berlaku tanpa mempertimbangkan aspek sosial atau moral. Jika praktik tersebut melanggar aturan hukum yang ada, seperti UU Perlindungan Konsumen dan UU ITE, maka pelaku harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Sociological jurisprudence, sebaliknya, akan menganalisis kasus ini dalam konteks sosial yang lebih luas, melihat dampak negatifnya terhadap masyarakat dan bagaimana hukum harus berevolusi untuk merespons perkembangan ekonomi digital. Aliran ini menekankan pentingnya hukum yang berfungsi untuk menjaga keadilan sosial dan merefleksikan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendekatan positivisme hukum lebih fokus pada aspek legal formal, sedangkan sociological jurisprudence lebih mempertimbangkan konteks sosial dan perubahan hukum seiring perkembangan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H