Dalam hukum Islam, manipulasi pasar yang disengaja seperti fake order adalah bentuk penipuan yang dilarang, dan hukum positif Indonesia juga mendukung perlindungan konsumen serta integritas dalam transaksi.
Bagaimana pandangan aliran positivisme hukum dan sociological jurispudensi dalam menganalisis kasus hukum ekonomi syariah fake order di tiktok shop
Aliran positivisme hukum dan sociological jurisprudence memiliki pendekatan yang berbeda dalam menganalisis kasus hukum ekonomi syariah terkait dengan fake order di TikTok Shop. Berikut adalah pandangan masing-masing aliran terhadap kasus ini:
 1. Pandangan Positivisme Hukum
Positivisme hukum adalah aliran yang menekankan bahwa hukum harus dipandang sebagai aturan-aturan yang berlaku secara formal, terlepas dari moralitas atau aspek sosial. Menurut pandangan ini, hukum adalah kumpulan aturan tertulis yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, dan yang penting adalah kepatuhan terhadap hukum tersebut.
- Penekanan pada aturan tertulis: Positivisme hukum akan menganalisis kasus fake order dari sudut pandang aturan hukum yang berlaku, seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jika tindakan fake order terbukti melanggar ketentuan yang ada dalam hukum positif, maka tindakan tersebut dianggap ilegal, dan pelaku harus dihukum berdasarkan aturan yang ada.
- Tidak melihat aspek moral atau sosial: Positivisme hukum cenderung tidak memedulikan apakah tindakan fake order ini dianggap tidak bermoral atau bertentangan dengan prinsip etika bisnis Islam. Jika hukum positif tidak secara eksplisit melarang fake order, maka positivisme hukum tidak akan mempersoalkan tindakan tersebut secara normatif.
- Â Penegakan hukum yang ketat: Bagi kaum positivis, solusi terhadap kasus ini adalah dengan menegakkan aturan hukum yang ada secara tegas, tanpa memperhatikan faktor sosial atau etika. Penjual yang terbukti melakukan fake order harus diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti dikenakan denda atau hukuman pidana sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen dan UU ITE.
 2. Pandangan Sociological Jurisprudence
Sociological jurisprudence adalah aliran yang melihat hukum dalam konteks sosialnya. Menurut aliran ini, hukum tidak hanya sekadar aturan tertulis, tetapi juga merupakan refleksi dari dinamika sosial, budaya, dan ekonomi. Hukum harus dilihat dalam konteks bagaimana aturan tersebut diterapkan dalam masyarakat, serta bagaimana hukum tersebut memengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan sosial.
- Melihat dampak sosial dari fake order: Sociological jurisprudence akan melihat kasus *fake order* dari perspektif dampak sosial yang ditimbulkannya. Praktik fake order dianggap merugikan konsumen dan menciptakan ketidakpercayaan dalam transaksi online. Ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada struktur pasar dan perilaku konsumen secara keseluruhan. Aliran ini akan menekankan bahwa hukum harus berkembang untuk mengatasi masalah sosial yang muncul, seperti kepercayaan konsumen terhadap platform online.
- Perubahan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat: Dalam pandangan ini, hukum harus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan kebiasaan masyarakat. Sociological jurisprudence akan mendorong adanya regulasi yang lebih ketat terkait transaksi di platform belanja online, karena praktik seperti *fake order* menciptakan ketidakadilan bagi konsumen. Selain itu, hukum syariah juga harus diperkuat untuk menjawab tantangan ekonomi digital yang berkembang.
- Pentingnya norma sosial dan moral: Berbeda dengan positivisme hukum yang hanya berfokus pada aturan tertulis, sociological jurisprudence akan mempertimbangkan norma-norma etika dan moral dalam masyarakat. Praktik *fake order* bertentangan dengan nilai kejujuran dan keadilan yang dipegang oleh masyarakat, termasuk dalam hukum ekonomi syariah. Oleh karena itu, aliran ini akan menekankan pentingnya hukum yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan etika, bukan hanya aturan formal.
 Kesimpulan:
- Positivisme hukum akan menganalisis kasus fake order di TikTok Shop berdasarkan hukum tertulis yang berlaku tanpa mempertimbangkan aspek sosial atau moral. Jika praktik tersebut melanggar aturan hukum yang ada, seperti UU Perlindungan Konsumen dan UU ITE, maka pelaku harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Sociological jurisprudence, sebaliknya, akan menganalisis kasus ini dalam konteks sosial yang lebih luas, melihat dampak negatifnya terhadap masyarakat dan bagaimana hukum harus berevolusi untuk merespons perkembangan ekonomi digital. Aliran ini menekankan pentingnya hukum yang berfungsi untuk menjaga keadilan sosial dan merefleksikan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendekatan positivisme hukum lebih fokus pada aspek legal formal, sedangkan sociological jurisprudence lebih mempertimbangkan konteks sosial dan perubahan hukum seiring perkembangan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H