Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Malu Hati

23 April 2021   20:27 Diperbarui: 23 April 2021   20:46 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuil Budha Haedong Yonggung-sa, dekat kota Busan, Korea Selatan. Sebuah kuil cantik yang terletak di tebing karang. Foto oleh Ivan Adilla

Lebih dari dua puluh tahun lalu. Di nagari Talago, Kabupaten Lima Puluh Kota, saya bertemu seorang lelaki. Umurnya telah lewat 70 tahun ketika kami bertemu. Tapi ia masih sehat dan cekatan bekerja. Ketika kami sampai di rumahnya, beliau baru saja selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua. Ya, lelaki itu menyiapkan sendiri kebutuhan dirinya. Juga tamunya. Dia cekatan memasak, Bertani, juga berjualan di kedai di depan rumahnya.

"Kebetulan sekali saya lagi ada di rumah", katanya.

"Memang biasanya Bapak di mana?"

"Oh, maksud saya, kebetulan sekarang lagi giliran di kampung".

Secara bergantian, lelaki itu mengunjungi dan menemani anak, cucu, dan menantunya yang menetap di Singapura. Anak keduanya bekerja di kedutaan Indonesia di negeri jiran itu.

"Jadi, tiga bulan saya bertugas di Singapura. Tiga bulan berikutnya libur, karena digantikan isteri", jelasnya sambil senyum. Selama berada di kampung, beliau bertani dan berdagang.

Kami bertamu ke rumah itu untuk mencari buku-buku dan naskah lama yang mungkin masih beliau simpan. Selesai makan, beliau mengajak kami melihat lemari bukunya. Ada tiga lemari buku besar di rumah tua yang sederhana itu. Satu rak berisi aneka buku dan majalah berbahasa Indonesia. Ada koleksi tentang masalah agama, pendidikan, sejarah, dan politik. Buku-buku itu terbitan Bulan Bintang, dan Panjimas. Beberapa ada buku terbitan penerbit Marapi dan Tsamaratul Ikhwan (Bukittinggi), Sa'adijah (Padangpanjang), dan Eleonora (Payakumbuh). Koleksi majalah yang utama adalah Panji Masyarakat dan Harmonis. Juga sebuah majalah berukuran kecil, Suara Dakwah. Majalah ini diterbitkan dan dipimpin oleh M. Natsir, dan cukup populer di kalangan pembaca muslim pada 1980-an.

Sebuah lemari lain berisi koleksi dalam bahasa Arab dan Inggris. Koleksi bahasa Arab umumnya terbitan Libanon dan Mesir. Isinya mencakup masalah syariah, ubudiyah hingga sufistik. Buku dalam bahasa Inggris merupakan buku lebih baru. Tentang pelajaran bahasa Inggeris, diplomasi, dan bacaan ringan tentang sastra. Mungkin sekali ini koleksi anak beliau yang disimpan.

Di sebagian besar rumah lama di wilayah Suliki dan sekitarnya -biasa disebut daerah Mudiak- saya selalu menemukan dua-tiga lemari buku yang berisi koleksi bacaan pemilik rumah. Kenyataan ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat di sana. Tak peduli apakah mereka petani, pedagang, apalagi guru atau pegawai pemerintah. Buku dan majalah seakan merupakan salah satu kebutuhan utama rumah tangga. 

Begitu juga dengan lelaki tua yang saya temui siang itu. Setelah melihat koleksi buku, kami pun berbincang. Memenuhi rasa ingin tahu, saya bertanya tentang pendidikan beliau. Lelaki itu menjawab bahwa pendidikan formalnya hanya sampai tingkat sekolah dasar. Setelah itu beliau belajar di surau. Di surau itulah beliau belajar Bahasa Arab dan ilmu agama. Dibimbing oleh guru mengaji.

"Berapa lama Bapak belajar di surau?", tanya saya.

"Wah, belum tahu", jawabnya.

"Belum tahu? Maksud Bapak, lupa?"

"Bukan lupa. Tapi memang belum tahu", lelaki itu tersenyum. "Soalnya, hingga kini saya masih mengaji di surau"

"Oh, begitu. Mungkin maksud Bapak mengajar..."

"Bukan mengajar, tapi mengaji...", kembali lelaki itu tersenyum.

Lelaki itu kemudian bercerita bahwa jika sedang berada di kampung, ia mengunjungi surau satu atau dua kali seminggu. Surau tempatnya mengaji dulu itu kini tak seramai dulu lagi. Gurunya pun telah lama tiada. Hanya beberapa teman sebaya yang pernah mengaji yang sering bertemu. Tapi baginya ia tetap mengaji di sana. Alasannya, dari kisah teman, kesulitan anak-anak dan melihat panorama sepanjang perjalanan, ia bisa belajar tentang banyak hal. Belajar dari nasib orang dan alam, yang kemudian dibincangkan dengan teman lain di surau.

Surau itu tiga puluh kilometer jauhnya dari rumah lelaki itu. Dia harus bolak balik sejauh 60 km untuk mengunjungi surau, bertemu sahabat dan anak-anak lain di tempat itu. Tentu saja itu, jarak yang cukup jauh untuk perjalanan dengan alasan yang tak begitu jelas. Karena itu saya menanyakan alasan lelaki itu berangkat ke surau malam hari dalam usia tua.

"Begini, anak muda. Dulu, ketika masih kecil, kami diajarkan; Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Nah, karena saya masih hidup dan belum sampai ke liang lahat, makanya saya terus belajar.."

"Ya, saya tahu tentang hadis itu...."

"Ah, kalau begitu kita diajarkan hal yang sama", katanya. "Cuma saja, mungkin ada sedikit beda pemahaman di antara kita ..."

"Maksud bapak?"

"Di surau, kami diberitahu, dan dilatih untuk menjalankan ilmu yang kami  pelajari. Karena,  ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Sebab itu kami dididik untuk menjalankan ilmu yang didapat..." jelas orang tua itu.

"Tapi apa bedanya pemahaman kita kalau begitu?", tanya saya.

"Kalau saya pandang-pandangi, anak muda telah sekolah tinggi. Tentu telah bermacam-macam ilmu yang dipelajari.."

"Yah, tak terlalu tinggi, Pak..".

"Yang jelas lebih tinggi dari saya yang cuma tamat Sekolah Rakyat, kan? Tapi itulah masalahnya.." kata orang tua itu tiba-tiba berhenti.

"Maksud Bapak?"

"Orang sekarang sekolahnya tinggi-tinggi. Sayangnya mereka kadang terlalu asyik belajar, sampai lupa mengamalkan ilmunya. Nah, itulah sedikit beda pemahaman kita tentang hadis   tadi...". Saya hanya diam.

"Bagi kami orang surau, ilmu itu pedoman hidup untuk diamalkan. Itu sebabnya saya belum mau berhenti belajar. Menurut dugaan saya, tampaknya anak muda belum melakukannya....", ujarnya ringan.

"Benar sekali, Pak", jawab saya. Tak lama kemudian saya pamit. Lelaki tua itu melepas kami dengan senyum tulus. Tapi saya merasa senyum itu menusuk ulu hati.

Dalam perjalanan pulang, saya tercenung mengenang pertemuan dengan lelaki itu. Lelaki yang hanya tamat Sekolah Rakyat, tapi selalu punya semangat belajar. Motivasi belajarnya pun amat sederhana dan tulus; untuk mengamalkan ilmu dan ajaran yang diyakininya. Betapa beda dengan orang lain; pegawai instansi pemerintah yang sekolah untuk naik jabatan, dosen perguruan tinggi  atau guru sekolah yang kuliah sekadar untuk mendapatkan ijazah dan bisa naik pangkat, serta bertambah gaji. Terus terang, saya malu hati bertemu orang tua ini. Bagaimana dengan Anda?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun