Lebih dari dua puluh tahun lalu. Di nagari Talago, Kabupaten Lima Puluh Kota, saya bertemu seorang lelaki. Umurnya telah lewat 70 tahun ketika kami bertemu. Tapi ia masih sehat dan cekatan bekerja. Ketika kami sampai di rumahnya, beliau baru saja selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua. Ya, lelaki itu menyiapkan sendiri kebutuhan dirinya. Juga tamunya. Dia cekatan memasak, Bertani, juga berjualan di kedai di depan rumahnya.
"Kebetulan sekali saya lagi ada di rumah", katanya.
"Memang biasanya Bapak di mana?"
"Oh, maksud saya, kebetulan sekarang lagi giliran di kampung".
Secara bergantian, lelaki itu mengunjungi dan menemani anak, cucu, dan menantunya yang menetap di Singapura. Anak keduanya bekerja di kedutaan Indonesia di negeri jiran itu.
"Jadi, tiga bulan saya bertugas di Singapura. Tiga bulan berikutnya libur, karena digantikan isteri", jelasnya sambil senyum. Selama berada di kampung, beliau bertani dan berdagang.
Kami bertamu ke rumah itu untuk mencari buku-buku dan naskah lama yang mungkin masih beliau simpan. Selesai makan, beliau mengajak kami melihat lemari bukunya. Ada tiga lemari buku besar di rumah tua yang sederhana itu. Satu rak berisi aneka buku dan majalah berbahasa Indonesia. Ada koleksi tentang masalah agama, pendidikan, sejarah, dan politik. Buku-buku itu terbitan Bulan Bintang, dan Panjimas. Beberapa ada buku terbitan penerbit Marapi dan Tsamaratul Ikhwan (Bukittinggi), Sa'adijah (Padangpanjang), dan Eleonora (Payakumbuh). Koleksi majalah yang utama adalah Panji Masyarakat dan Harmonis. Juga sebuah majalah berukuran kecil, Suara Dakwah. Majalah ini diterbitkan dan dipimpin oleh M. Natsir, dan cukup populer di kalangan pembaca muslim pada 1980-an.
Sebuah lemari lain berisi koleksi dalam bahasa Arab dan Inggris. Koleksi bahasa Arab umumnya terbitan Libanon dan Mesir. Isinya mencakup masalah syariah, ubudiyah hingga sufistik. Buku dalam bahasa Inggris merupakan buku lebih baru. Tentang pelajaran bahasa Inggeris, diplomasi, dan bacaan ringan tentang sastra. Mungkin sekali ini koleksi anak beliau yang disimpan.
Di sebagian besar rumah lama di wilayah Suliki dan sekitarnya -biasa disebut daerah Mudiak- saya selalu menemukan dua-tiga lemari buku yang berisi koleksi bacaan pemilik rumah. Kenyataan ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat di sana. Tak peduli apakah mereka petani, pedagang, apalagi guru atau pegawai pemerintah. Buku dan majalah seakan merupakan salah satu kebutuhan utama rumah tangga.Â
Begitu juga dengan lelaki tua yang saya temui siang itu. Setelah melihat koleksi buku, kami pun berbincang. Memenuhi rasa ingin tahu, saya bertanya tentang pendidikan beliau. Lelaki itu menjawab bahwa pendidikan formalnya hanya sampai tingkat sekolah dasar. Setelah itu beliau belajar di surau. Di surau itulah beliau belajar Bahasa Arab dan ilmu agama. Dibimbing oleh guru mengaji.
"Berapa lama Bapak belajar di surau?", tanya saya.