"Wah, belum tahu", jawabnya.
"Belum tahu? Maksud Bapak, lupa?"
"Bukan lupa. Tapi memang belum tahu", lelaki itu tersenyum. "Soalnya, hingga kini saya masih mengaji di surau"
"Oh, begitu. Mungkin maksud Bapak mengajar..."
"Bukan mengajar, tapi mengaji...", kembali lelaki itu tersenyum.
Lelaki itu kemudian bercerita bahwa jika sedang berada di kampung, ia mengunjungi surau satu atau dua kali seminggu. Surau tempatnya mengaji dulu itu kini tak seramai dulu lagi. Gurunya pun telah lama tiada. Hanya beberapa teman sebaya yang pernah mengaji yang sering bertemu. Tapi baginya ia tetap mengaji di sana. Alasannya, dari kisah teman, kesulitan anak-anak dan melihat panorama sepanjang perjalanan, ia bisa belajar tentang banyak hal. Belajar dari nasib orang dan alam, yang kemudian dibincangkan dengan teman lain di surau.
Surau itu tiga puluh kilometer jauhnya dari rumah lelaki itu. Dia harus bolak balik sejauh 60 km untuk mengunjungi surau, bertemu sahabat dan anak-anak lain di tempat itu. Tentu saja itu, jarak yang cukup jauh untuk perjalanan dengan alasan yang tak begitu jelas. Karena itu saya menanyakan alasan lelaki itu berangkat ke surau malam hari dalam usia tua.
"Begini, anak muda. Dulu, ketika masih kecil, kami diajarkan; Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Nah, karena saya masih hidup dan belum sampai ke liang lahat, makanya saya terus belajar.."
"Ya, saya tahu tentang hadis itu...."
"Ah, kalau begitu kita diajarkan hal yang sama", katanya. "Cuma saja, mungkin ada sedikit beda pemahaman di antara kita ..."
"Maksud bapak?"