"Di surau, kami diberitahu, dan dilatih untuk menjalankan ilmu yang kami  pelajari. Karena,  ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Sebab itu kami dididik untuk menjalankan ilmu yang didapat..." jelas orang tua itu.
"Tapi apa bedanya pemahaman kita kalau begitu?", tanya saya.
"Kalau saya pandang-pandangi, anak muda telah sekolah tinggi. Tentu telah bermacam-macam ilmu yang dipelajari.."
"Yah, tak terlalu tinggi, Pak..".
"Yang jelas lebih tinggi dari saya yang cuma tamat Sekolah Rakyat, kan? Tapi itulah masalahnya.." kata orang tua itu tiba-tiba berhenti.
"Maksud Bapak?"
"Orang sekarang sekolahnya tinggi-tinggi. Sayangnya mereka kadang terlalu asyik belajar, sampai lupa mengamalkan ilmunya. Nah, itulah sedikit beda pemahaman kita tentang hadis  tadi...". Saya hanya diam.
"Bagi kami orang surau, ilmu itu pedoman hidup untuk diamalkan. Itu sebabnya saya belum mau berhenti belajar. Menurut dugaan saya, tampaknya anak muda belum melakukannya....", ujarnya ringan.
"Benar sekali, Pak", jawab saya. Tak lama kemudian saya pamit. Lelaki tua itu melepas kami dengan senyum tulus. Tapi saya merasa senyum itu menusuk ulu hati.
Dalam perjalanan pulang, saya tercenung mengenang pertemuan dengan lelaki itu. Lelaki yang hanya tamat Sekolah Rakyat, tapi selalu punya semangat belajar. Motivasi belajarnya pun amat sederhana dan tulus; untuk mengamalkan ilmu dan ajaran yang diyakininya. Betapa beda dengan orang lain; pegawai instansi pemerintah yang sekolah untuk naik jabatan, dosen perguruan tinggi  atau guru sekolah yang kuliah sekadar untuk mendapatkan ijazah dan bisa naik pangkat, serta bertambah gaji. Terus terang, saya malu hati bertemu orang tua ini. Bagaimana dengan Anda?
Â