Dahrendorf membagi masyarakat yang terlibat dalam konflik menjadi dua golongan, yaitu kelompok semu dan kelompok kepentingan.[8] Kelompok semu berisi para pemegang kekuasaan atau jabatan, sedangkan kelompok kepentingan merupakan kelompok yang memiliki struktur, organisasi, program, tujuan, dan anggota yang jelas. Kelompok kepentingan merupakan kelompok yang memunculkan sebuah konflik di masyarakat.
Melihat dari kacamata Teori Konflik, kita bisa menarik beberapa poin dari kasus kekerasan seksual di Universitas Riau. Kita bisa melihat bahwa kasus di Universitas Riau muncul karena adanya kepemilikkan wewenang dan perbedaan posisi antara pelaku dan korban. Pelaku merupakan seorang dekan yang mana artinya ia memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih luas, serta posisi yang jauh di atas oleh korbannya. Sedangkan korban merupakan mahasiswi yang tidak memiliki wewenang dan kekuasaan seluas dekan, serta posisi yang jauh di bawah pelaku.
Dalam hal ini, pelaku merupakan bagian dari kelompok semu, karena seorang dekan memiliki kekuasaan atau jabatan. Sedangkan korban merupakan bagian dari kelompok kepentingan, karena korban memiliki tujuannya tersendiri. Konflik muncul ketika korban melaporkan pelaku kepada pihak yang berwenang. Korban memiliki tujuan tersendiri yaitu untuk memberikkan hukuman kepada pelaku. Pelaku dianggap menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan yang ia miliki untuk melakukan hal-hal yang menjadi kepentingannya tersendiri.
Selain itu, dalam analisis fenomenologi kasus tersebut, bisa dilihat bahwa ada kesadaran yang tercipta dari korban untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Fenomenologi berusaha membahas tentang pengindentifikasian masalah dari pengalaman dunia suatu individu yang kemudian menghasilkan kesadaran individual secara kolektif.[9] Pemahaman korban akan perilaku kekerasan seksual menjadi akar dari munculnya pelaporan kejadian tersebut yang pada akhirnya menjadikan hal tersebut sebagai sebuah konflik. Jika korban tidak memahami bahwa tindakan tersebut merupakan kekerasan seksual, maka tidak aka nada indikasi kekerasan seksual yang terjadi, serta tidak timbul konflik seperti apa yang sudah terjadi.
Selain dari kacamata sosiologi, terjadinya kasus kekerasan seksual di Universitas Riau tersebut juga disebabkan oleh adanya ketimpangan gender. Adanya ketidaksetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan menyebabkan terjadinya kepemilikkan kekuasaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki selalu dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan. Adanya ketidaksetaraan gender ini disebabkan oleh budaya turun temurun. Umumnya, budaya turun-temurun ini merupakan mitos yang hanya menguntungkan kaum laki-laki dan mendeskritkan kaum perempuan.[10] Adanya perbedaan gender ini kemudian melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan dilakukan untuk menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan.[11]
Dalam kasus, dapat dilihat bahwa adanya budaya tersebut menyebabkan pelaku melakukan perbuatan tidak menyenangkan tersebut kepada korban. Pelaku menggunakan kekuasaannya untuk menguasai korban demi tercapainya kepuasan tersendiri baginya.
Kesimpulan
Kekerasan seksual merupakan sebuah tindak kekerasan yang bersifat seksual baik fisik maupun non fisik, yang dilakukan secara paksa dan mengancam oleh pelaku kepada korban tanpa memedulikan ada atau tidaknya hubungan dengan korban. Terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, perbudakan seksual, hingga kontrol seksual.
Kasus bermula ketika korban melakukan bimbingan dengan pelaku, namun pelaku malah mencuri kesempatan dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada korban. Tindakan pelaku merupakan indikasi pelecehan seksual, sehingga pada akhirnya korban melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Kasus berakhir dengan vonis tidak bersalah dari majelis karena kurangnya bukti dan saksi, sehingga pada akhirnya pelaku dibebaskan dari masa penahanan.
Berdasarkan riset studi literatur, kasus kekerasan seksual yang melibatkan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi diakibatkan adanya ketimpangan gender antara pelaku dan korban. Adanya perbedaan kekuasaan, wewenang, dan posisi antara pelaku dan korban juga menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual.
Sumber
2. Binahayati Rusyidi, Antik Bintari, dan Hery Wibowo. "Pengalaman dan Pengetahuan Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi". Social Work Jurnal. Vol. 09. No. 01, 2019, hal 79.