Latar Belakang
Kekerasan seksual merupakan sebuah penyimpangan yang belakangan sering terjadi di masyarakat. Kekerasan seksual sendiri adalah sebuah perbuatan yang bersifat merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang fungsi reproduksi seseorang.
Terdapat berbagai bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi di masyarakat, pemerkosaan merupakan salah satu yang paling disadari oleh masyarakat. Namun sebenarnya, masih banyak lagi bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat, seperti: mengutarakan ujaran diskriminasi, menyentuh area pribadi seseorang, dan menguntit.[1]
 Berdasarkan penelitian dalam jurnal "Pengalaman dan Pengetahuan Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi", ditemukan bahwa dari 133 responden mahasiswa, terdapat lima perilaku kekerasan seksual yang diidentifikasi dengan tepat oleh responden, yaitu membangun hubungan romantik terus menerus, mengirim pesan seksual, menyuap bawahan untuk melakukan aktivitas seksual, menyentuh bagian tubuh seseorang tanpa izin, dan mengarahkan pembicaraan bernuansa seksual. Sedangkan terdapat lima bentuk perilaku kekerasan seksual lainnya yan tidak mampu diidentifikasi oleh responden, yaitu candaan seksis, memaksa seseorang menonton tayangan pornografi, memberi komentar dengan istilah seksual yang bersifat merendahkan, masturbassi di hadapan orang lain, dan menatap wilayah kelamin lawan jenis.[2] Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa masih banyak orang yang belum memahami sepenuhnya tentang tindakan kekerasan seksual. Masyarakat hanya mengetahui bahwa kekerasan seksual harus berupa kontak fisik, padahal nyatanya tidak hanya melalui kontak fisik saja kekerasan seksual itu terjadi.
Ada beberapa alasan terjadinya tindak kekerasan seksual: adanya ketimpangan gender dan relasi kuasa, gaya pacaran masa kini, dan tontonan yang disajikan kepada masyarakat. Alasan-alasan tersebut tentu muncul bukan secara cuma-cuma, melainkan ada proses yang dilewati sebelumnya. Ketimpangan gender dan relasi kuasa muncul karena ketidakpahaman dan penyalahgunaan gender atau kekuasaan yang dimilikinya, gaya pacaran yang muncul karena pengaruh budaya luar, dan tontonan yang mengandung perilaku kekerasan seksual sangat mudah diakses di masa sekarang ini.
Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Kondisi yang kita pikir aman dari kekerasan seksual seperti keramaian, dan tempat yang kita pikir aman dari kekerasan seksual seperti sekolah, nyatanya tidak. Salah satu tempat terjadinya kekerasan seksual yang sesuai dengan ketiga kriteria di atas adalah lingkungan kampus. Lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat aman bagi para pelajar, nyatanya tidak seperti itu. Banyak sekali tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas salah satu kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang sempat ramai pada 2021 silam, yaitu kekerasan seksual di Universitas Riau yang dilakukan oleh oknum dosen kepada mahasiswinya. Nantinya, kasus tersebut akan dianalisis menggunakan teori sosiologi yang ada untuk melihat berbagai hal dan menjawab berbagai pertanyaan yang ada secara sosiologis.
Pembahasan
Pengertian Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual merupakan sebuah istilah yang merupakan gabungan dari dua kata, yaitu kekerasan dan seksual. Dalam KBBI, kekerasan artinya perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera, mati, atau kerusakan bagi orang lain.[3] Sedangkan seksualitas merupakan sebuah istilah yang tidak lepas dari kata dasarnya, seks. Seks merupakan sebuah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pengertian dari masing-masing kata tersebut, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai sebuah tindakan penyerangan yang bersifat seksual yang ditujukan kepada lawan jenis, serta bersifat fisik dan non fisik tanpa memedulikan ada atau tidaknya hubungan dengan korban. Â Â
Kekerasan seksual merupakan sebuah usaha untuk melakukan tindakan seksual secara paksa (pemerkosaan), komentar berbau seksual yang tidak diinginkan, dan kontak seksual yang bersifat paksaan atau mengancam.[4]Â
Inti dari kekerasan seksual adalah adanya ancaman dan pemaksaan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban.[5] Kekerasan seksual merupakan tindakan kontak secara seksual yang tidak diinginkan oleh salah satu pihak. Jika salah satu pihak mengingini hal tersebut untuk terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, maka hal itu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah kekerasan seksual. Jika tidak ada unsur pemaksaan dan pengancaman kepada korban, maka hal tersebut juga tidak bisa dikatakan sebagai kekerasan seksual.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diartikan bahwa kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan yang bersifat seksual yang dilakukan secara paksa dan mengancam kepada lawan jenis baik tindakan fisik maupun non fisik tanpa memedulikan ada atau tidaknya hubungan dengan korban.
Bentuk Kekerasan Seksual
Berdasarkan pengertian sebelumnya, ada dua jenis tindak kekerasan seksual, yaitu kekerasan seksual fisik dan kekerasan seksual non fisik. Kekerasan seksual fisik merupakan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban yang berkaitan dengan fisik dari korban, contohnya adalah tindakan pemerkosaan dan begal payudara. Sedangkan kekerasan seksual non fisik yaitu tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku tanpa melakukan kontak dengan fisik korban, contohnya adalah lelucon seksis, mengirim dokumen yang bernuansa seksual tanpa persetujuan penerima, dan menguntit.
Dilansir dari jurnal "Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual", terdapat 15 bentuk kekerasan seksual:[6]
- Pemerkosaan, merupakan sebuah pemaksaan dalam hubungan seksual dengan memasukkan penis ke dalam vagina, anus, atau mulut.
- Intimidasi seksual, merupakan sebuah tindakan ancaman dengan menyerang bagian seksualitas korban untuk menimbulkan rasa takut.
- Pelecehan seksual, yaitu tindakan seksual yang dilakukan oleh pelaku lewat sentuhan fisik ataupun non fisik dengan target seksualitas korban.
- Eksploitasi seksual, adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan mendapatkan kepuasan seksual.
- Perdagangan perempuan, merupakan sebuah tindakan jual beli perempuan dengan maksud prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.
- Prostitusi paksa, adalah tindak penipuan kepada korban dengan ancaman berupa kekerasan untuk menjadi pekerja seks.
- Perbudakan seksual, adalah kondisi dimana pelaku merasa memiliki kekuasaan akan tubuh korbannya.
- Pemaksaan perkawinan, terjadi karena adanya pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan oleh korban.
- Pemaksaan kehamilan, yaitu situasi di mana perempuan diancam dan dipaksa untuk meneruskan kehamilan yang tidak ia kehendaki.
- Pemaksaan aborsi, pemaksaan atau ancaman dari pihak laki-laki untung menggugurkan kandungan pihak perempuan.
- Pemaksaan kontrasepsi, pemasangan kontrasepsi atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan perempuan.
- Penyiksaan seksual, merupakan sebuah tindakan penyerenangan terhadap organ dan seksualitas korban.
- Penghukuman bernuansa seksual, penghukuman yang menyebabkan penderitaan, rasa sakit, hingga perasaan malu yang luar biasa.
- Praktik tradisi bernuansa seksual, kebiasaan masyarakat yang mampu menimbulkan cedera fisik ataupun psikologis pada korbannya.
- Kontrol seksual, merupakan sebuah ancaman dari pelaku untuk memaksa korban menginternalisasi simbol-simbol yang tidak disetujui korban.
Kronologi Kasus Kekerasan Seksual di Universitas Riau
Kasus ini muncul ke permukaan publik ketika akun Instagram @komahi_ur mengunggah video pengakuan korban pada tanggal 4 November 2021. Berdasarkan keterangan, kasus terjadi pada 27 Oktober 2021, ketika korban sedang melakukan bimbingan skripsi dengan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Syafri Harto. Saat bimbingan tersebut berjalan, korban menerima perlakuan tidak mengenakan dari pelaku. Pelaku menyium pipi kiri dan kening korban, serta meminta untuk korban menyium bibirnya.
Setelah peristiwa itu, korban merasa terpukul dan mencoba melapor kepada pihak fakultas melalui sekretaris dan kepala jurusan. Namun, laporan korban tidak diacuhkan oleh pihak fakultas. Korban malah semakin tertekan karena pihak fakultas terkesan memojokkan korban.
Kekecewaan terhadap pihak fakultas menyebabkan korban melapor kasus ini kepada KOMAHI pada hari itu juga. Sejak saat itu, pihak KOMAHI selalu mendampingi korban sambil membantu mencarikan solusi untuk kasus ini yang berujung pada diunggahnya video pengakuan korban ke media sosial @komahi_ur.
Karena unggahan video tersebut, pelaku menuntut KOMAHI dan korban atas tuduhan pencemaran nama baik dengan tameng UU ITE. KOMAHI dan korban tidak gentar dengan tuntutan tersebut karena korban sudah mendapat pendampingan hukum dari LBH Pekanbaru dan pendampingan psikologis dari UPT PPA Provinsi Riau.
Dengan bekal pendampingan yang ada, korban akhirnya melaporkan pelaku ke kepolisian. Kemudian pada 18 November 2021, Polda Riau menetapkan pelaku sebagai tersangka. Pada 21 November 2021, pelaku dinonaktifkan oleh pihak universitas setelah didemo berkali-kali oleh mahasiswa Universitas Riau. Pada 17 Januari 2022, pelaku ditahan oleh pihak Kejaksaan Negeri Pekanbaru.
Proses persidangan berjalan cukup lama. Hingga pada 30 Maret 2022, pelaku dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga hakim pira. Majelis menilai tidak ada bukti cukup kuat dan tidak ada saksi yang dapat membuktikan kejadian tersebut.
Analisis Kasus Secara Sosiologis
Dalam melakukan analisis secara sosiologis, tentu diperlukan teori-teori sosiologi yang berkaitan. Salah satu teori sosiologi yang bisa digunakan untuk menganalisis kasus tersebut ialah Teori Konflik milik Ralp Dahrendorf.
Teori Konflik Dahrendorf dibangun sebagai bentuk pertentangan terhadap Teori Fungsionalisme Struktural. Teori Konflik melihat bahwa masyarakat senang berada di dalam sebuah perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan. Setiap elemen dalam masyarakat juga dilihat sebagai penyumbang disintegrasi sosial.
Konsep inti dari teori ini adalah wewenang dan posisi.[7] Adanya distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor munculnya konflik secara sistematis. Perbedaan posisi juga menjadi salah satu pemicu munculnya konflik di masyarakat.
Dahrendorf membagi masyarakat yang terlibat dalam konflik menjadi dua golongan, yaitu kelompok semu dan kelompok kepentingan.[8] Kelompok semu berisi para pemegang kekuasaan atau jabatan, sedangkan kelompok kepentingan merupakan kelompok yang memiliki struktur, organisasi, program, tujuan, dan anggota yang jelas. Kelompok kepentingan merupakan kelompok yang memunculkan sebuah konflik di masyarakat.
Melihat dari kacamata Teori Konflik, kita bisa menarik beberapa poin dari kasus kekerasan seksual di Universitas Riau. Kita bisa melihat bahwa kasus di Universitas Riau muncul karena adanya kepemilikkan wewenang dan perbedaan posisi antara pelaku dan korban. Pelaku merupakan seorang dekan yang mana artinya ia memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih luas, serta posisi yang jauh di atas oleh korbannya. Sedangkan korban merupakan mahasiswi yang tidak memiliki wewenang dan kekuasaan seluas dekan, serta posisi yang jauh di bawah pelaku.
Dalam hal ini, pelaku merupakan bagian dari kelompok semu, karena seorang dekan memiliki kekuasaan atau jabatan. Sedangkan korban merupakan bagian dari kelompok kepentingan, karena korban memiliki tujuannya tersendiri. Konflik muncul ketika korban melaporkan pelaku kepada pihak yang berwenang. Korban memiliki tujuan tersendiri yaitu untuk memberikkan hukuman kepada pelaku. Pelaku dianggap menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan yang ia miliki untuk melakukan hal-hal yang menjadi kepentingannya tersendiri.
Selain itu, dalam analisis fenomenologi kasus tersebut, bisa dilihat bahwa ada kesadaran yang tercipta dari korban untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Fenomenologi berusaha membahas tentang pengindentifikasian masalah dari pengalaman dunia suatu individu yang kemudian menghasilkan kesadaran individual secara kolektif.[9] Pemahaman korban akan perilaku kekerasan seksual menjadi akar dari munculnya pelaporan kejadian tersebut yang pada akhirnya menjadikan hal tersebut sebagai sebuah konflik. Jika korban tidak memahami bahwa tindakan tersebut merupakan kekerasan seksual, maka tidak aka nada indikasi kekerasan seksual yang terjadi, serta tidak timbul konflik seperti apa yang sudah terjadi.
Selain dari kacamata sosiologi, terjadinya kasus kekerasan seksual di Universitas Riau tersebut juga disebabkan oleh adanya ketimpangan gender. Adanya ketidaksetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan menyebabkan terjadinya kepemilikkan kekuasaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki selalu dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan. Adanya ketidaksetaraan gender ini disebabkan oleh budaya turun temurun. Umumnya, budaya turun-temurun ini merupakan mitos yang hanya menguntungkan kaum laki-laki dan mendeskritkan kaum perempuan.[10] Adanya perbedaan gender ini kemudian melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan dilakukan untuk menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan.[11]
Dalam kasus, dapat dilihat bahwa adanya budaya tersebut menyebabkan pelaku melakukan perbuatan tidak menyenangkan tersebut kepada korban. Pelaku menggunakan kekuasaannya untuk menguasai korban demi tercapainya kepuasan tersendiri baginya.
Kesimpulan
Kekerasan seksual merupakan sebuah tindak kekerasan yang bersifat seksual baik fisik maupun non fisik, yang dilakukan secara paksa dan mengancam oleh pelaku kepada korban tanpa memedulikan ada atau tidaknya hubungan dengan korban. Terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, perbudakan seksual, hingga kontrol seksual.
Kasus bermula ketika korban melakukan bimbingan dengan pelaku, namun pelaku malah mencuri kesempatan dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada korban. Tindakan pelaku merupakan indikasi pelecehan seksual, sehingga pada akhirnya korban melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Kasus berakhir dengan vonis tidak bersalah dari majelis karena kurangnya bukti dan saksi, sehingga pada akhirnya pelaku dibebaskan dari masa penahanan.
Berdasarkan riset studi literatur, kasus kekerasan seksual yang melibatkan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi diakibatkan adanya ketimpangan gender antara pelaku dan korban. Adanya perbedaan kekuasaan, wewenang, dan posisi antara pelaku dan korban juga menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual.
Sumber
2. Binahayati Rusyidi, Antik Bintari, dan Hery Wibowo. "Pengalaman dan Pengetahuan Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi". Social Work Jurnal. Vol. 09. No. 01, 2019, hal 79.
3. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kekerasan
4. Wahyu Krisnanto dan Martika Dini Syaputri, "Kelemahan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dari Kekerasan Seksual di Ruang Publik". Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Vol. 20. No. 02. Juli 2020. Hal 522.
5. Ismantoro Dwi Yuwono. Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Penerbit Medpress Digital. 2015 Hal 1.
6. Ani Purwati dan Marzellina Hardiyanti. "Jurnal Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual". Masalah-masalah Hukum. Vol. 47. No. 02. April 2018. Hal. 141-143.
7. George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Depok: Rajawali Pers. 2021. Hal 26.
8. George Ritzer. Op.Cit. Hal 27.
9. Ian Craib. Teori-teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994. Hal. 129.
10. Trisakti Handayani dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press. 2017. Hal 8.
11. Trisakti Handayani dan Sugiarti. Op.Cit. Hal 15.
Sumber Kronologi
2. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H