Oleh : Itsam Sf
Wahai diri, luruskan niatmu, tunjukkan jejakmu, sampaikan citamu, wujudkan mimpimu. Lewat hati, merangakai bingkai hidup yang hakiki.
“Furqon, abang minta antum yang mewakili teman-teman peserta ya!”. Bang Ali, kakak tingkatku, ketua organisasi ini, sekaligus panitia ospek ini, berucap. Lantas dengan santai melangkah pergi.
Abang? Kenapa musti aku? Aku tak bisa mengiyakan. Demam ‘maba’ (mahasiswa baru)ku memang belum bisa ku buang jauh.
Baiklah, ini hari pertamaku di Organisasi ini. Satu-satunya ‘wadah’ yang kurasa, ini pas dengan apa yang kubawa. Setelah kesana kemari mencari tempat untuk melepas jabatan kusam ini. Yah, mahasiswa yang katanya kurang aktifitas. Padahal tidak, sebenarnya. Suasana yang bersahabat. Gema qur’anjuga terdengar diseisi aula ini. kulirik kanan kiri, mereka semua pasti jauh lebih baik dariku.
Rangkaian acara sudah mulai berlalu. Kami, aku dan teman baru, begitu menikmati semuanya. Berjalan ceremonial, disiplin, namun tetap asyik.
“Ade-ade semua, silahkan, barangkali ada yang ingin ikut ngetes kemampuan salah satu sahabat akhwat kita ini. Antum bisa berdiri dan sebutkah apa pertanyaannya”. Sosok tegak didepan sana rupanya menyita perhatiannku. Dari jarak sepersekian jauh ini, aku tak bisa mendeskripsikan sosok indah apa disana. Pertanyaan seputar hafalan Al-qur’an yang dilontarkan audiens semua terjawab tuntas. Dengan irama yang terdengar cantik, ayat-ayat Al-qur’an pun terlantun sempurna. Menyibak penuh perhatian semua orang di Aula ini. Siapa dia? Menakjubkan.
Agenda hari ini pun ditutup rapi dengan acara yang tak kalah mengesankan. Aku beranjak dari tempat dudukku. Sesekali kembali mencari mata gadis itu. Lagi-lagi, siapa dia? Sepertinya kisahku baru saj akan dimulai.
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Aku belum begitu hafal tempat-tempat di kampus tercintaku ini. gedung-gedung malah terlihat sama semua. Aktifitasku hanya seputar asrama-kampus-mesjid. Itu saja.
“Furqon, tolong beritahu anggota lain. Halaqoh qur’an mulai hari ini berjalan seperti biasa”,
“Baik bang. Afwan, tempatnya?”
“Ah di mesjid sajalah Fur. Supaya lebih afdol, supaya sering-sering mampir di rumah Allah loh Fur” jawabnya. Bang Ali berlalu.
Aku hadir tepat waktu. Aku masuk di halaqoh bimbingan kak Yusuf. Yah, ini cukup menyenangkan. Setelah lama aku tak bercengkrama bersama kalamulloh ini, rasanya rindu sekali. Kami semua focus dengan aktifitas masing-masing. Saling bertukar fikir, berbagi cerita dan ilmu bersama kawan-kawan semua. Kemudian menyetorkan hafalan satu sama lain. Benar-benar suasana yang dirindukan.
“Afwan ka, gantungan tas antum jamil”. Gadis muslimah ini ternyata memperhatikanku sedari tadi.
“Oh.. ih.. iya. Syukron ukh”. Jawabku kaku. Dia tersipu.
“Kenapa? Antum suka?”
‘Menarik saja ka”. Dia selalu saja berucap singkat.
“Ana kebetulan masih simpan satu di asrama. Kalo antum mau, bisa ana bawakan. Besok insya allah antum sudah bisa antum pakai”. Gadis itu mengangguk pelan. “Syukron ka”, terdengar berbisik.
Aku-dia, sama-sama berlalu. Beranjak meninggalkan halaqoh. Hari berganti.
***
“Gadis aneh. Tiba-tiba saja tertarik dengan gantungan ini. padahal harganya saja hanya lima ribu rupiah” aku bergumam.
“Hush, dasar ada-ada saja”. Kembali ku masukan gantungan itu kedalam saku. Detik-detikk memang tak pernah mau berkompromi. Selalu dan selalu saja membawaku pada ketergesa-gesaan. Selesai jam di kampus, seperti biasa aku segera hadir di halaqohku. Aku cepat-cepat berjalan berjalan di desakan mahasiswa lain yang juga sama keluar dari kelasnya. Lokasi masih tetap sama.
Kebetulan sekali, gadis kemarin baru saja sampai di depan masjid.
‘Afwan ukh, ini gantungan yang saya janjikan kemarin”, aku menyodorkan tangan.
‘Oh iya. Syukron jazakalloh”. Dia tersenyum, manis.
“Baiklah saya awalan yah”. Aku berlalu lebih dulu.
Hey, ada sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Bukankah dia gadis mengagumkan itu? Aku kembali menoleh. Rupanya dia sudah pergi. Hanya bayang-bayang yang tertinggal.
Sehari berlalu lebih cepat dari biasanya. Aku sangat menunggu langit berubah biru hari ini. Ingin segera memastikan tentang gadis yang sepanjang malam menyisakan rasa penasaran teramat. Yah, gadis mengagumkan yang bahkan walau hanya namanya, aku tak tahu.
Gadis itu mungkin asing bagiku. Namun sudah tak jadi hal tabu bagi mahasiswa lama. Apalagi bagi mereka yang satu organisasi dengannya. Yah, gadis yang disebut-sebut menyambat banyak juara di berbagaai perlombaan Hifdzul Qur’an. Kemudian karena sifat dan penampilannya yang terlihat syar’i. Hebat bukan? Ini semakin membuatku jatuh hati. Yah, jatuh hati pada yang kusebut gadis mengagumkan itu.
Aku, masih dalam diamku, diam-diam memperhatikan apapun yang ia lakukan. Entahlah, aku belum cukup keberanian untuk sekedar menanyakan nama atau basa-basi padanya. Jelas-jelas dia teman satu halaqoh. Dari sini, aku juga bisa mengamati benar seperti apa gadis ini.
***
“Assalamu’alaikum, Halo? ka Furqon?”. Suara akhwat di sebrang sana membuatku sedikit gugup.
“Wa’alaikumussalam. Ya, afwan dengan siapa?”
“Aku temandi halaqoh qur’an ka”. Ah pelan sekali dia menjawab.
“Siapa?”
“Aisyah” jawabnya pelan, lagi. Telpon hening.
“Aisyah yang kemarin kakak beri gantungan”. Aku masih sangat ingat. Aisyah. Yah, ini gadis mengagumkan itu. Indah sekali, gumamku.
Aisyah tiba-tiba saja menelponku, sementara aku sedang sibuk-sibuknya dengan setumpuk tugas kuliah. Dia ingin bersilaturahmi, pun bermaksud meminjam motorku agar bisa mempermudah akses tranportasinya, kebetulan sedang ada tugas kuliah yang agak rumit. Namun sepertinya dia sedikit kebingungan, aku tahu dia perlu kawan untuk membantu mengerjakan tugasnya. Dengan begitu, aku memutuskan untuk sebentar saja menemahni Aisyah. Ku fikir ini bukan hal bodoh, toh kami masih berbicara tentang hal-hal positif.
Baiklah, aku sedikit tak mengerti dengan rona-rona yang muncul di hatiku. Hari-hari kami setelah hari itu semakin terasa mengesankan. Sekarang aku mengenalnya lebih jauh dari momen gantungan kunci itu. Kurasa, diapun begitu. Kami baru sadar bahwa kami memiliki banyak hal yang sama. Meski begitu, sama sekali tidak mengurangi warna dalam ukhuwah kami ini. Pernah juga, dikemudian hari, aku malah terbaring lemah. Tubuhku layu, sakit. Sangat tidak baik. Lalu Aisyah dengan berbaik hati datang dengan obat-obatan di tangannya. Wajahnya datar, mata sayupnya menunjukan sesuatu yang membuat degup tak biasa di hatiku. Oh Allah, indah sekali maha ciptamu.
Hari kembali berlalu. Setelah semuanya membaik, Aisyah mengajakku untuk mencoa bertafakur lewat salah satu pegunungan sekitar sini. Sedikit melakukan tracking bersama kawan-kawan di kampus. Jujur, ini kali pertama aku berani membolang seperti ini.
“Ka, saya tahu kaka juga sudah selesai setoran hafalan 30 juz kan?”. Aku hanya tersenyum.
“Baiklah, mau mulai bertafakur?”. Aku kembali hanya mengangguk.
“Sambil mendaki, bagaimana jika Aisyah dengarkan kaka mengulang hafalan?”
“Loh? Kenapa saya?”
“Yah kalo tidak mau, biar kita gantian saja ka. Kita mulai dari juz awal, dan biar aku saja yang memulai bacaan”. Ini penawaran menarik. Aisyah memang gadis periang sejak awal aku mengenalnya. Meski dia ditutupi syar’i, dia tak lupa untuk menjaga ukhuwahnya.
Pendakian dimulai. Tak terasa, waktu berlaru seperti hanya lewat. Sampai di puncak, rasa lelah juga tak begitu menikam. Aisyah malah tersenyum lepas. Sepanjang jalan aku belajar banyak hal dari gadis ini. Tentang bagaimana memaknai kehidupan, kemudian bagaimana agar bisa tetap bersahabat bersama lingkungan. Semuanya membuatku semakin kagum.
Satu-sua, mungkin ini hari keenam kita bersama. Sejauh ini ia masih gadis yang tak habis istimewa dimataku. Beruntung, nilai akademisku juga turut membaik. Entahlah, diamungkin datang pada saat yang tepat. Saat aku perlu sosok yang mampu memupuk semangatku. Dia, Aisyah.
Hari ini Aisyah menungjungiku di asrama. Mungkin ada yang ingin ia tanyakan perihal tugas kampusnya. Beberapa waktu ini aku sering sekali membantunya mengerjakan tugas.
“Boleh aku pinjam laptopmu ka?” tanyanya basa-basi.
”Oh tentu saja, biar saja bawakan”
“Iya, saya tunggu diluar saja”. Aku segera mengambilnya.
“”Aisyah, kaka tinggal dulu ya. Kalo ada apa-apa cari saja kakak di mesjid”. Aisyah hanya mengangguk. Aku beranjak. Dia hanya diam.
Satu jam sudah Aisyah asyik dengan laptopku. Aku tak tahu apa yang sedang ia tulis disana. Ia kelihatan tak seperti biasanya.
“Syukron ka”, laptopku masih terjaga.
“Oh sudah ya?”. Dia mengangguk, lagi.
“Saya awalan ya ka”. Tanpa basa-basi Aisyah pergi begitu saja.
Hey, apa ini? Aisyah keliru menyimpan catatannya. Data ini masih tersimpan di perangkat. Aku membukanya.
Assalamu’alaikum ikhwan fillah. Antum itu indah, sangat indah. Aku malu, malu dengan beberapa waktu ini. yang dengan waktu yang telah kita lalui bersama. Aku malu dengan diriku sendiri, aku malu dengan Allahku. Antum tak perlu bertanya, aku kenapa. Aku yakin antum pasti faham. Setelah apa yang antum sampaikan sepulang dari rumah sakit, aku sadar sekali, bahwa aku penuh dengan salah. Aku butuh cahaya. Bantu aku ka…
Dicatatan lain bahkan tertulis,
Entah harus menyalahkan waktu atau jangan, yang pasti aku menghargai dari setiap waktu yang Allah berikan. Karena Allah mempunyai alasan untuk mempertemukan seseorang. Terkadang agar dipersatukan, atau kadang hanya untuk sebuah pelajaran kehidupan. Yang pasti semua hari yang telah Allah berikan, entah itu awal perjumpaan sampai perpisahan, aku temukan titik kenyamanan. Fokuskan terhadap apa yang kamu cita-citakan, jangan sampai kehadiran dan kedekatan kita menjadikan penghalang mu dalam menuai kesuksesan..
Untukmu yang akhlaqnya mulia, iman nya menggetarkan rasa, sholehnya membuatku dekat akan hal siapa sang pencipta..
Terimakasih untuk makna mengenai kehidupan nyata. Terimakasih untuk ilmu akan mensyukuri yang ada. Terimakasih untuk mendekatkanku lebih kepada sang pencipta. Terimakasih untuk segalanya. Yang pasti aku bahagia mengenal sosokmu yang sangat istimewa.
“Hufs” aku menghela nafas pasnjang. Aku faham betul kenapa Aisyah meninggalkan catatan ini. kau tahu? Beberapa waktu lalau aku sempat mengantarnya ngelayat almarhuman temannya di Rumah Sakit dekat sini. Disana, dia bertemu dengan kawan lamanya. Yang kulihat ada banyak ikhwan juga disana. Saat tangis Aisyah benar-benar pecah, salah satu kawan ikhwannya menghampiri, dan dengan begitu saja menjabat tangan Aisyah. Aisyah juga tak banyak berbuat. Sebetulnya aku sedikit dikagetkan. Aku hanya berasumsi, mungkin sudah biasa, itu kan sahabat lamanya. Diperjalan pulang, aku menanyakan hal itu pada Aisyah, dan dengan spontan ia membantah.
“Astagfirulloh, saya khilaf ka. Saya refleks”. Aku tidak begitu memikirkan hal itu. Seperti yang sudah aku bilang, aku hanya berkomentar singkat.
“Mungkin sudah biasa ya”. Dia tersipu.
Ternyata hingga hari ini ia masih memikirkan hal itu. Entah seberapa terpukulnya hati Aisyah karena ucapanku. Oh Allah apa yang telah aku lakukan?
Sejak saat itu ‘persahabatan kecil’ kami berubah buruk. Aisyah seperti selalu menghindar dariku. Walaupunsebenarnya aku juga sudah tak sesering dulu hadir di halaqoh. Waktu itu, Aisyah juga sempat mengungkapkan sesuatu, bahwa ia mulai nyaman dengan kehadiranku. Dan saat ini jelas-jelas kami tak pernah agi bersapa, atau hanya berpapasan. Tidak pernah. Aku-dia sepertiberjalan diatas jembatan yang tak pertah bertumpu.
Aisyah benar-benar pergi tanpa jejak. Aku tak tahu hari ini ia sebaik dulu atau tidak. Ia seriang dulu atau tidak. Semanis dulu atau tidak. Hanya bayang-bayangnya yang masih saja terlukis jelas dibenakku. Tuhan dengan mudah mempertemukan kami dalam bingkai ukhuwah ini. Setelah itu, dengan mudah Ia buat arak yang benar-benar memisahkan kami.
Ini mungkin akhir kisahku. Saat aku baru saja tahu bahwa sebenarnya Aisyah saat ini telah dipinang ikhwan yang aku yakin ia sangat pantas untuk menyandingi Aisyah. Aku tersenyum. Bersembunyi dalam serpihan rasa yang sudah sejak lama tumbuh di hatiku.
Wahai hati. Hatiku, hatimu. Tersenyumlah selalu dalam goresan-goresan ini. bolehkah aku menyebut ini cinta? Yah, cinta yang tumbuh sejak tiga bulan mengenalmu. Aku tak tahu ini skenario tuhan atau hanya sandiwara kita saja, aku hanya berharap kita sama-sama akan berjalan dijalan yang dirihoi Allah, tuhan kita. Aku tak tahu akankah kamu mau mengingatku atau tidak. Atau malah berbulir air mata jauh disana. Sampaikanlah apapun disepertiga malammu. Allah maha mengetahui. Sesungguhnya kamu selalu indah untukku, sampai saat ini. Menjadi bingkai di hatiku. Aku kerap kali mengukuhkan hatiku, mencoba melupakannya. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H