“Wa’alaikumussalam. Ya, afwan dengan siapa?”
“Aku temandi halaqoh qur’an ka”. Ah pelan sekali dia menjawab.
“Siapa?”
“Aisyah” jawabnya pelan, lagi. Telpon hening.
“Aisyah yang kemarin kakak beri gantungan”. Aku masih sangat ingat. Aisyah. Yah, ini gadis mengagumkan itu. Indah sekali, gumamku.
Aisyah tiba-tiba saja menelponku, sementara aku sedang sibuk-sibuknya dengan setumpuk tugas kuliah. Dia ingin bersilaturahmi, pun bermaksud meminjam motorku agar bisa mempermudah akses tranportasinya, kebetulan sedang ada tugas kuliah yang agak rumit. Namun sepertinya dia sedikit kebingungan, aku tahu dia perlu kawan untuk membantu mengerjakan tugasnya. Dengan begitu, aku memutuskan untuk sebentar saja menemahni Aisyah. Ku fikir ini bukan hal bodoh, toh kami masih berbicara tentang hal-hal positif.
Baiklah, aku sedikit tak mengerti dengan rona-rona yang muncul di hatiku. Hari-hari kami setelah hari itu semakin terasa mengesankan. Sekarang aku mengenalnya lebih jauh dari momen gantungan kunci itu. Kurasa, diapun begitu. Kami baru sadar bahwa kami memiliki banyak hal yang sama. Meski begitu, sama sekali tidak mengurangi warna dalam ukhuwah kami ini. Pernah juga, dikemudian hari, aku malah terbaring lemah. Tubuhku layu, sakit. Sangat tidak baik. Lalu Aisyah dengan berbaik hati datang dengan obat-obatan di tangannya. Wajahnya datar, mata sayupnya menunjukan sesuatu yang membuat degup tak biasa di hatiku. Oh Allah, indah sekali maha ciptamu.
Hari kembali berlalu. Setelah semuanya membaik, Aisyah mengajakku untuk mencoa bertafakur lewat salah satu pegunungan sekitar sini. Sedikit melakukan tracking bersama kawan-kawan di kampus. Jujur, ini kali pertama aku berani membolang seperti ini.
“Ka, saya tahu kaka juga sudah selesai setoran hafalan 30 juz kan?”. Aku hanya tersenyum.
“Baiklah, mau mulai bertafakur?”. Aku kembali hanya mengangguk.
“Sambil mendaki, bagaimana jika Aisyah dengarkan kaka mengulang hafalan?”