Sepanjang buku ia mencaci-maki kerja sebagai sumber penderitaan manusia. Kita harus pahami konteksnya berbicara adalah masyarakat kapitalisme. Pemujaan terhadap kerja yang justru mengakibatkan kelebihan produksi. Ada banyak barang, tetapi tidak ada yang  bisa beli. Akhirnya toko-toko pailit dan tutup. Krisis ekonomi dan bencana kelaparan adalah akhirnya.
Walau demikian, kelas pekerja tetap berhasrat pada kerja. Lafargue menengarai para pendeta dan intelektual sebagai kambing hitam. Dengan legitimasi teologis dan filosofis, mereka berkata hanya dengan bekerja maka penderitaan berakhir. Mereka mengujarkan bekerja adalah kewarasan mutlak manusia. Kita ingat kalimat yang terkenal, "Tidak bekerja, jangan makan!"
Dalam konteks ini Lafargue memuja Dewa Kemalasan. Ia merindu dunia diperintah oleh rezim kebersantaian. Ia percaya puncak peradaban manusia muncul dari kemalasan. Aristoteles dan Plato tidak mungkin menelurkan filsafat hebat jika harus memintal kapas. Origen tidak mungkin menulis begitu banyak buku kalau sibuk mengurusi mesin pabrik.
Oleh karena itu ia memandang kerja, dalam rezim kapitalisme, adalah kemunduran peradaban. Untuk membuat dunia lebih baik, ia mengusulkan agar dunia memperbanyak waktu bermalas-malas. Misalnya minum kopi, nonton konser, aktivitas seni, dan sebagainya. Menurutnya, semakin banyak beristirahat, semakin manusia produktif dan kreatif.
Lafargue mengajukan proposal manusia bekerja tiga jam sehari. Seandainya tentara, politikus, dan kelas borjuis turun ke pabrik, maka target itu dapat dicapai. Dengan catatan, produksi dibatasi untuk memenuhi kebutuhan saja. Bukan untuk mencari nilai lebih.
Lafargue menyalahkan kelas pekerja. Baginya, kesadaran semu mencemari pikiran mereka. Kelas proletar terlanjur mencandu agama baru: kerja. Untuk mengalahkannya, ia menyerukan agar buruh menuntut hak kepada dunia. Hak apa? Hak untuk malas! Kita berhak untuk malas! Jangan mau dicekoki bahwa kerja adalah keharusan. Fakta sudah membuktikan bahwa semakin kelas pekerja mengisap opium kerja, penderitaan kian mendera.
Dalam penafsiran saya, Lafargue ingin menyerukan bahwa wabah dunia ini berakhir jika kelas pekerja menyudahinya. Mereka harus berani bersatu untuk malas serentak. Malas datang ke pabrik. Malas bekerja dua belas jam sehari. Malas mengemis kepada borjuasi. Malas patuh pada semua kesadaran palsu. Malas untuk tabah dan bersyukur atas segala penderitaan.
Mereka harus malas karena itulah satu-satunya cara untuk melawan!
Merajut Malas yang Alkitabiah
Tugas utama orang Kristen adalah melakukan restorasi atas tatanan dunia. Pada mulanya, Tuhan mencipta alam semesta ini baik adanya (Kejadian 1). Lalu dosa merusak tatanan baik itu. Dosa pertama adalah manusia menihilkan eksistensi sesamanya (Kejadian 4). Itulah yang terjadi sekarang. Kapitalisme menciptakan tatanan berengsek. Akibatnya, dunia menjadi kandang exploitation de l'homme par l'homme. Manusia terdegradasi menjadi hanya sebatas alat produksi (dehumanisasi). Human being, katanya, sudah tereduksi menjadi human doing.
Kita harus menarik kembali tatanan dunia ini menjadi adil seperti pada era kitab Amsal ditulis. Hanya dengan cara ini Amsal kembali relevan.