Lastri telah kembali siang tadi, aku telah mengantarkannya ke stasiun. Perjalanan dari stasiun terasa sangat panjang, rumah ini benar-benar sepi. Tak ada siapa-siapa lagi, hanya aku seorang. Walau sebenarnya, aku sudah dibiasakan sendiri, oleh keadaan. Latina delapan tahun terakhir sudah tergolek lemah di tempat tidur, akulah yang merawatnya, dari mulai menyuapi, memandikan hingga membersihkan semua kotorannya. Tak ada yang terasa berat, cintaku pada Latina membuat segalanya jadi ringan. Sinar mata kuyu Latina, bagiku masih seperti dulu, ketika aku baru mengenalnya, pancaran sinar mata cinta Latina, yang membuat semua ini seakan syurga yang tak bertepi. Â Kalaupun bisa disebut pelarian, maka mesin tik disudut ruang tamu itulah satu-satunya pelarianku.
Diantara waktu luang, aku mengetik, takut suara mesin ketik itu mengganggu ketenangan istirahat Latina.
Kini Latina telah meninggalkanku untuk selamanya. Tapi cinta ini masih tetap bergelora, sama ketika pertama kali aku mengenalnya. Cinta pada Latina sudah kubuktikan padanya, delapan tahun merawatnya tanpa keluh, tanpa kesah. Hanya ada senyum dan kasih sayang, bukan hanya sebagai suami, tetapi lebih sebagai seorang kekasih.
Kini……..kembali aku duduk menghadapi mesin tik tuaku, akan kuhadapi dia, kujadikan alat tunggangan, sebagai alat pembuktian cinta ini pada Latina. Biarlah kami (aku dan mesin tik) menghabiskan malam-malam kami untuk mewujudkan bukti cintaku pada Latina. Sebuah buku sedang kami garap bersama, kami usahakan segera selesai, buku yang menceritakan cinta yang tak pernah padam pada Latina. Buku yang berjudul Latina, Kau Tak Tergantikan. Buku inilah yang kelak menjadi bukti cintaku pada latina, dan satu-satunya warisan yang paling berharga yang akan kuwariskan pada Lastri
Sepertiga malam terakhir, 27.2.2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H