“Ayahakan tetap disini, pulanglah, kasihan suamimu, juga edo… dia menantikan mamanya” jawabku lirih.
“Ya ...yah, tapi lastri tak tega meninggalkan ayah sendiri…”
“Ayah tidak sendiri las…. Ibumu masih disini, tak tak tampak memang, tapi bagi ayah masih di sini…”
“Ayah….!!!” Tiba-tiba lastri memelukku, lalu sesenggukan, aku memeluknya, genangan dikelopak mata yang sedari tadi telah ada, kini jatuh. Kutahan sekuatku, agar tak ada suara yang keluar. Lama lastri memelukku.
“Ini yang kutakutkan yah… ayah akan larut dengan situasi ini”
“Tidak las, ayah cukup kuat. Ini memang sudah seharusnya begitu”
“Tapi…”
“Tapi apa las?”
“Lastri akan kepikiran terus pada ayah… ayah akan larut dalam suasana duka ini. Ayah harus meninggalkan rumah ini, kalau tidak, ayah akan teringat terus pada ibu. Rumah ini terlalu banyak membawa kenangan pada lastri, juga pada ayah”.
“Tidak las, ayah akan kuat…biarkan ayah tetap di rumah ini, biarkan ayah mereguk sedikit waktu di rumah ini, agar ayah masih dapat menziarahi ibumu. Besok lastri berangkatlah, kehadiran lastri lebih ditunggu disana”
*****