Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Latina, Kau Tak Tergantikan

26 Februari 2014   10:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanah merah masih segar, kayu nisan baru saja ditanamkan, bunga melati dan mawar baru beberapa menit lalu ditaburkan. Aku masih berjongkok disisi kubur, ketika sebuah tangan menggapai pundakku..

“Ayo ayah, kita pulang” bisik suara anakku lastri.

“Ya…nak” jawabku lirih, aku berdiri, mengiringi langkah lastri. Lastri berjalan didepanku, diantara sisi-sisi makam, selangkah dibelakangnya, langkah kakiku turut mengiringinya. Air mata ini, tanpa terasa menetes.

*****

Ini hari terakhir, takziyah di rumahku, mulai besok para tetangga tak akan ada lagi yang datang. Rumah ini akan sepi. Lastri mungkin lusa akan meninggalkan aku.

Beranda rumah sudah sepi, ada suara kaki seakan terseret di belakangku, aku tak menoleh, itu suara langkah lastri. Lalu diam. Suara itu hilang. Aku masih diam, tak menoleh. Lalu ada tangan dingin menyentuh pundakku, tangan dingin itu kuraih, kubawa ke depan, kuisyaratkan agar duduk di kursi di sebelahku.

“Ayah…” suara lastri lirih, matanya nanar menatap kedepan, tidak memandangku. Apa itu artinya lastri sedang menangis, atau tidak tega menatap wajahku.

“Ya…las…” jawabku lirih, aku memandang langit-langit beranda rumah, ada genangan yang terkumpul di kelopak mata, tak sampai jatuh.

“Besok   lastri akan pulang…”

“Ya….”

“Lalu  ayah bagaimana?”

“Ayahakan tetap disini, pulanglah, kasihan suamimu, juga edo… dia menantikan mamanya” jawabku lirih.

“Ya ...yah, tapi lastri tak tega meninggalkan ayah sendiri…”

“Ayah tidak sendiri las…. Ibumu masih disini, tak tak tampak memang, tapi bagi ayah masih di sini…”

“Ayah….!!!” Tiba-tiba lastri memelukku, lalu sesenggukan, aku memeluknya, genangan dikelopak mata yang sedari tadi telah ada, kini jatuh. Kutahan sekuatku, agar tak ada suara yang keluar. Lama lastri memelukku.

“Ini yang kutakutkan yah… ayah akan larut dengan situasi ini”

“Tidak las, ayah cukup kuat. Ini memang sudah seharusnya begitu”

“Tapi…”

“Tapi apa las?”

“Lastri akan kepikiran terus pada ayah… ayah akan larut dalam suasana duka ini. Ayah harus meninggalkan rumah ini, kalau tidak, ayah akan teringat terus pada ibu. Rumah ini terlalu banyak membawa kenangan pada lastri, juga pada ayah”.

“Tidak  las, ayah akan kuat…biarkan ayah tetap di rumah ini, biarkan ayah mereguk sedikit waktu di rumah ini, agar ayah masih dapat menziarahi ibumu. Besok lastri berangkatlah,  kehadiran lastri lebih ditunggu disana”

*****

Lastri telah kembali siang tadi, aku telah mengantarkannya ke stasiun. Perjalanan dari stasiun terasa sangat panjang, rumah ini benar-benar sepi. Tak ada siapa-siapa lagi, hanya aku seorang. Walau sebenarnya, aku sudah dibiasakan sendiri, oleh keadaan. Latina delapan tahun terakhir sudah tergolek lemah di tempat tidur, akulah yang merawatnya, dari mulai menyuapi, memandikan hingga membersihkan semua kotorannya. Tak ada yang terasa berat, cintaku pada Latina membuat segalanya jadi ringan. Sinar mata kuyu Latina, bagiku masih seperti dulu, ketika aku baru mengenalnya, pancaran sinar mata cinta Latina, yang membuat semua ini seakan syurga yang tak bertepi.  Kalaupun bisa disebut pelarian, maka mesin tik disudut ruang tamu itulah satu-satunya pelarianku.

Diantara waktu luang, aku mengetik, takut suara mesin ketik itu mengganggu ketenangan istirahat Latina.

Kini Latina telah meninggalkanku untuk selamanya. Tapi cinta ini masih tetap bergelora, sama ketika pertama kali aku mengenalnya. Cinta pada Latina sudah kubuktikan padanya, delapan tahun merawatnya tanpa keluh, tanpa kesah. Hanya ada senyum dan kasih sayang, bukan hanya sebagai suami, tetapi lebih sebagai seorang kekasih.

Kini……..kembali aku duduk menghadapi mesin tik tuaku, akan kuhadapi dia, kujadikan alat tunggangan, sebagai alat pembuktian cinta ini pada Latina. Biarlah kami (aku dan mesin tik) menghabiskan malam-malam kami untuk mewujudkan bukti cintaku pada Latina. Sebuah buku sedang kami garap bersama, kami usahakan segera selesai, buku yang menceritakan cinta yang tak pernah padam pada Latina. Buku yang berjudul Latina, Kau Tak Tergantikan. Buku inilah yang kelak menjadi bukti cintaku pada latina, dan satu-satunya warisan yang paling berharga yang akan kuwariskan pada Lastri

Sepertiga malam terakhir, 27.2.2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun