“Mulai besok, Mas akan membuka rekening. Setelah itu, 20% dari gaji Mas, akan kita tabungkan pada rekening yang Mas buka itu”
“Untuk apa Mas?” masih saja Ima bertanya, padahal keinginan untuk memiliki rumah itu, sudah berkali-kali disampaikan Tono.
“Uang itu, akan kita belikan rumah, Mas ingin, kelak ketika pensiun, kita sudah memiliki rumah Ma..”
“Tapi… Mas”
“Mas tahu, maksud Ima, untuk makan saja tidak cukup, apalagi harus dikurangi untuk ditabungkan” ujar Tono, coba membaca jalan pikiran Ima. Tono sadar, masalah ini bukan sederhana.
“Iya Mas..”
“Mas akan cari tambahan diluar Ma, Mas akan jadi supir tembak angkotnya Mas Gatot. Kemarin kita sudah ngomong banyak, Mas Gatot setuju untuk kasi Mas, waktu empat jam setiap harinya” jawab Tono lagi.
Terkadang, kita dipaksa untuk dewasa, saat kemudahan tak ada
Terkadang kita terpaksa jadi orang tua, ketika semua bergantung pada kita
Rencana menabungkan gaji 20% dari yang diterima terwujud, semua sesuai dengan keinginan Tono. Malah kondisi ekonomi keluarga semakin baik. Penghasilan tiap hari yang dibawa Tono pulang, dapat menutup kebutuhan sehari-hari.
Demikianlah, hukum alam memang begitu, tak ada yang gratis, semuanya dalam volume yang sama, semua hanya peralihan dari satu hal menjadi hal yang lain. Kelebihan penghasilan Tono, harus dibayar dengan berkurangnya waktu untuk berkumpul dengan Ima, Tono hanyut dalam rutinitas mencari tambahan, Ima makin tersingkirkan dalam kesunyian di rumah, entah karena konpensasi dari kekurangan fisik yang dimilikinya, atau karena kekurangan ilmu dan gaulnya, Ima makin tenggelam dalam cemburu yang membabi buta. Cemburu yang bukan hanya terhadap wanita, tetapi juga pada perolehan rezeki yang Tono terima.