Mohon tunggu...
Iswara Rusniady
Iswara Rusniady Mohon Tunggu... Human Resources - Pustakawan

sekedar mencoba berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Transformasi Layanan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial sebagai Salah Satu Solusi Mengatasi Masalah Pengangguran

31 Januari 2020   14:58 Diperbarui: 31 Januari 2020   16:46 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan pemerintah tahun 2019 -2024 yang  telah memprioritaskan literasi untuk kesejahteraan, disambut dengan gembira dan baik oleh Perpustakaan Nasional RI, sebagai lembaga yang mengemban fungsi pembinaan perpustakaan dan pengembangan budaya baca masyarakat Indonesia. Kepala Perpustakaan Nasional RI, Moch. Syarif Bando, dalam suatu seminar nasional literasi dan pembangunan sosial ekonomi, menyatakan bahwa " perpustakaan bakal menstransformasi layanan berbasis inklusi sosial merupakan suatu pendekatan pelayanan perpustakaan yang berkomitmen meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Inklusi sosial adalah pendekatan berbasis sistem sosial yang memandang perpustakaan sebagai sub sistem sosial dalam sistem kemasyarakatan. Untuk itu, perpustakaan perlu dirancang agar mempunyai manfaat yang tinggi di masyarakat."

Dari pernyataan Kepala Perpustakaan Nasional tersebut diatas, sangat jelas bahwa untuk Tahun 2019 dan tahun- tahun selanjutnya Perpustakaan Nasional berkomitmen untuk mengembangkan perpustakaan dengan lebih menitikberatkan menstransformasi layananan berbasis inklusi sosial dalam melaksanakan program/kegiatannya, untuk melakukan layanan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Permasalahan besar bangsa Indonesia, yaitu dalam menghadapi masalah pengangguran dan kemiskinan, yang angkanya semakin tahun semakin meningkat, bila tanpa solusi yang tepat. Sebagai akibat dari kurang sebandingnya jumlah lapangan pekerjaan dengan jumlah pengangguran dan angkatan kerja yang selalu bertambah setiap tahunnya, hal inilah yang sekarang menjadi masalah nasional, yang perlu dipecahkan oleh pemerintah bersama berbagai unsur masyarakat lainnya.

Untuk menghadapi persoalan seperti tersebut di atas, tentu pemerintah, melalui intansi lintas sektoral, berupaya mengatasi persoalan seperti tersebut di atas, dengan cara lebih memberdayakan peran dan fungsi perpustakaan melalui pendekatan literasi sebagai salah satu cara untuk mengurangi jumlah penganggur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu saja harus dibarengi dengan perbaikan kondisi perpustakaan di Indonesia, yang saat ini banyak mengalami permasalahan, dan masih kurang mendapat perhatian dari para pemangku kebijakan di daerah. Sehingga dengan telah ditetapkan dalam RKP 2019 masalah literasi sebagai program/kegiatan prioritas nasional sebagai sarana untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

Untuk menyikapi hal tersebut di atas,  Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Umum daerah Provinsi,Kabupaten/kota dituntut memainkan peran yang lebih strategis dalam upaya menurunkan angka kemiskinan, melalui transformasi layananan perpustakaan berbasis inklusi sosial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, pasal 3, disebutkan perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Atas dasar itu, para pengambil kebijakan di daerah, yang sebelumnya kurang perhatian terhadap penyelenggaraan perpustakaan di daerah, jangan lagi memperlakukan perpustakaan sebagai sarana pelengkap penderita/sebagai aksesoris pemerintah daerah saja, tetapi harus benar-benar dibina, dikelola secara baik dan benar, sehingga keberadaannya dapat berfungsi sebagai pusat kegiatan belajar dan kegiatan berinovasi dan berketerampilan masyarakat. Diharapkan dengan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di daerah dapat bertransformasi menyediakan layanan berbasis inklusi sosial, sehingga diharapkan  dapat mempercepat mensejahterakan masyarakatnya. Sejalan itupula, peran LSM atau komunitas pegiat literasi dan perpustakaan bergerak yang diadakan masyarakat, perlu terus didorong keberadaannya.

Untuk meningkatkan dan mengembangkan budaya baca masyarakat (budaya literasi) salah satunya dengan penyelenggaraan perpustakaan dan pengelolaan perpustakaan yang berkualitas, sehingga diharapkan nantinya, dengan penyelenggaraan dan pengelolan perpustakaan yang baik, akan dapat bertransformasi menyediakan layanan perpustakaan berkualitas, sehingga dapat berfungsi sebagari sarana untuk  mensejahterakan masyarakat.

Permasalahan pengangguran dan kemiskinan, salah satunya disebabkan karena tingkat literasi bangsa kita sangat rendah,   minat dan budaya baca bangsa Indonesia masih rendah. Hal itu didasari dari  adanya penelitian/survai pihak asing ( PISA 2011 dan World litterated nation 2016 ) yang menyatakan minat dan budaya literasi  bangsa kita masih tergolong rendah. Padahal hal itu tidak seluruhnya benar bila kita mencoba melihat data hasil penelitian  dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet usia muda berkembang sangat pesat, yaitu 75.50% masyarakat, yang menyatakan pemakaian internet bangsa Indonesia tinggi.

Mencermati beberapa hasil penelitian/survai tersebut, kita bisa  memahami apa yang menjadi penyebab dari permasalahan kenapa bangsa kita digolongkan sebagai bangsa berminat baca rendah, hal itu antara lain disebabkan karena buku dan informasi yang tersedia dan bisa diakses masyarakat jumlahnya terbatas, kita bisa melihat perpustakaan dan taman bacaan yang ada dimasyarakat jumlahnya dan isi koleksi bukunya masih terbatas, selain itu juga pengelolaan perpustakaan dan taman bacaan yang ada, belum semuanya menyentuh kepentingan/kebutuhan masyarakat.

Jadi intinya budaya baca rendah (berdasarkan hasil penelitian pihak asing) lebih disebabkan karena buku yang mau dibaca tidak ada, atau jumlahnya terbatas. Padahal kalau melihat dari  dari hasil penelitian  Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet usia muda berkembang sangat pesat, yaitu 75.50% masyarakat, yang menyatakan pemakaian internet bangsa Indonesia tinggi. hal itu berarti minat dan budaya baca masyarakat sudah cukup tinggi, hal itu terbukti dari jumlah pemakaian internet cukup tinggi, dengan tingginya minat baca masyarakat terhadap bacaan elektronik, bacaan digital, hal itu menunjukan pola masyarakat dalam pencarian informasi sudah mulai bergeser dari yang semula membaca buku tercetak ke membaca buku elektronik.

Ternyata kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap informasi sudah demikian tinggi, dengan tingginya tingkat kebutuhan informasi oleh masyarakat, hal itu perlu segera disikapi oleh para pengelola perpustakaan, pengelola taman bacaan, dan pengelola pusat data informasi, agar secepatnya dapat menyesuaikan pengelolaan perpustakaan, pengelolaan taman bacaan, pengelolaan pusat data, untuk bertransformasi menyediakan layanannya tidak hanya berbasis tercetak, tetapi perlu segera beralih ke basis elektronik/digital, karena mau tidak mau, suka dan tidak suka, masyarakat sekarang kebutuhan informasi dan pola pencarian informasinya, menginginkan serba cepat dan serba praktis, tidak mau repot-repot lagi mendatangi toko buku, perpustakaan, tetapi hanya cukup dengan media komunikasi (smartphone) saja orang bisa menelusur dan mendapatkan informasi secara cepat melalui internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun