Mohon tunggu...
Iswan Heri
Iswan Heri Mohon Tunggu... Administrasi - Dreamer, writer, and an uncle

Traveller, Writer, Dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Jokowi] Pagi di Jalan Slamet Riyadi

18 Desember 2015   22:14 Diperbarui: 18 Desember 2015   22:50 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Lama aku tak menulis puisi, Bung!

Sejak terakhir kita bertemu duduk diskusi

Mimpi bertaut, imaji bertarung

Tanpa basa-basi kau ceburkanku dalam diksi

 

Dari Khalil hingga Chairil

Tentang Si Papa, Si Bakhil

Dari Tolstoy hingga Sapardi

Dari pojok kanan hingga lajur kiri

Tentang romantika hingga ideologi

 

Ingatanku melayang tiba

Berkali suka kau membagi cerita

Tentang penyair yang gemar menulis kisah kaum murba

Ya, kau suka sekali puisi-puisi nya

 

Penyair kerempeng berambut keriting yang entah siapa namanya

Hilang sebelah cahaya mata

Sang penabur benih di tembok keras membaja

Lupa sudah aku gerangan dirinya

 

Layaknya kisah para orang suci dalam alkitab

Tawarkan kebajikan tanggalkan kemungkaran

Berakhir dengan luka lebam mata sembab

Sebab tak semua benar adalah jawaban

 

Karena tak tiap nafas mau belajar

Ringkih telah subur mengakar

Membabat bungkam semua nalar

Hingga udara semakin liar

Lalu katup suara berujar wajar

Meludah berani menelan gentar

 

***

Kubagi sebait kisah denganmu, Bung!

Tentang penanam padi yang diculik sunyi

Dicerabut dari ladang dan dipasung

Dipukul tendang paksa lupakan mentari

 

Manusia kecil menangis bingung

Depan pintu tunggu kakek tua pulang dan bersenandung

Sayang, langit itu mendung

Dan pagi enggan menyambung

 

Padi di sawah tertunduk lesu

Pria bercaping tak lagi taburkan hara

Pagi menyapa tak seperti lagu

Kancil kecil dimangsa serigala

 

Satu lagi kisah agar kau tak lupa, Bung!

Tentang hutan yang berubah menjadi jelaga

Tempat kita dulu menangkap nyanyian burung

Burung sirna asap menyapa

 

Kawan-kawan kecil kita dulu mulai menghilang

Udara malu dihisap ‘tika paru tak jua mengembang

Tak ada lagi kumbang dan kembang

Berganti baju tanah gersang

 

***

Lalu bagaimana aku menulis puisi, Bung!

Jikalau pagi terlalu dini menghianati

dan matahari berhenti bernyanyi

Langit kini selalu mendung, limbung

 

Lantas mari sudahi pagi yang mendung murung

Terlalu lama duduk di kursi empuk

Jangan diam,jangan bingung

Amorfati pahami singkirkan kantuk

 

Lama aku tak menulis puisi, Bung!

Sejak terakhir kita bertemu duduk diskusi

Mari duduk bersama disini, Bung!

Minum kopi, sambut pagi di Jalan Slamet Riyadi

 

Sama seperti saat kau lempar aku dalam diksi

Raih penamu, tarik kertasmu

Pompa semua imaji, biarkan jemari menari

Jangan biarkan dasi dan jas menipu

 

Tautkan mimpi, tarungkan imaji

Muntahkan semua lara, tuangkan semua rasa

Buka kembali Di Bawah Bendera Revolusi

Berdikari bukanlah ilusi

 

Berjanji!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun