Di masa ekonomi yang tidak stabil, banyak orang mencari pelarian dari tekanan yang menghimpit. Salah satu bentuk pelarian yang paling umum adalah belanja impulsif atau yang kini populer dengan istilah doom spending.Â
Fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu dari segi keuangan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan mental.Â
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, doom spending adalah masalah yang rumit dan penuh jebakan, terutama di tengah resesi.Â
Dalam artikel ini, saya akan menceritakan pengalaman saya terjebak dalam pola konsumtif ini, serta menggali lebih dalam penyebab dan cara mengatasinya.
Sebagai seorang yang pernah terjebak dalam lingkaran doom spending, saya sangat memahami betapa sulitnya melawan godaan untuk terus berbelanja. Ketika pandemi COVID-19 melanda, saya merasa hidup saya berubah drastis.Â
Kegiatan harian menjadi terbatas, dan kecemasan tentang masa depan meningkat tajam. Ketidakpastian ekonomi, kekhawatiran akan kesehatan, serta hilangnya interaksi sosial mendorong saya mencari pelarian. Sayangnya, pelarian yang saya pilih adalah belanja impulsif.
Berawal dari sekadar membeli barang-barang kecil secara online, kebiasaan ini berkembang menjadi kebutuhan untuk terus membeli hal-hal yang sebenarnya tidak saya butuhkan.Â
Awalnya, belanja terasa seperti hiburan yang sederhana. Namun, dalam waktu singkat, saya mulai merasa terjebak dalam siklus yang tidak sehat: saya membeli barang-barang untuk merasa lebih baik, tetapi rasa puas itu cepat hilang dan digantikan oleh kecemasan baru.
Setiap kali saya melihat saldo rekening menipis, saya dilanda rasa bersalah dan stres. Namun, seolah menjadi lingkaran setan, saya kembali berbelanja sebagai pelarian dari perasaan tersebut.Â
Saat menyadari betapa besar dampak doom spending ini terhadap kesehatan mental dan kondisi keuangan saya, saya mulai mencari cara untuk mengatasi kebiasaan buruk ini.