Saat kita dihadapkan pada sebuah gambar ilustrasi, memperlihatkan suasana kantin yang lengang dan sepi. Kita melihat tidak ada seorang pun di sana, bahkan tanpa penjaga.Â
Hanya ada beberapa slogan yang tertempel di dinding kantin, ditulis dengan huruf besar, nyaris seperti sebuah pemberitahuan. "Jajanlah dengan jujur".Â
Pemandangan kantin terlihat rapi dan teratur, stok makanan yang dijual tampak beraneka ragam tertata apik di rak storage dan etalase. Ada juga makanan dan minuman dingin di lemari pendingin.Â
Bahkan, kue-kue basah yang masih hangat pun tersaji menarik, tertutup wadah transparan, tampak menggiurkan tapi higienis. Tahukah kita, berdasarkan apa yang dilihat dan dibaca tersebut. Bahwa kantin ini tentulah kantin kejujuran.Â
Pertanyaannya?
Berdasarkan apa yang kita lihat, dengar dan rasakan dari  gambar tersebut. Jika uang jajan kita hanya sedikit atau terbatas untuk membeli beberapa buah gorengan saja. Sedangkan, dari rumah tadi perut kita belum terisi makanan sama sekali. Sesuai dengan persepsi yang terbentuk dalam pikiran kita. Kira-kira apa yang akan kita lakukan?
Saat kita memutuskan untuk jajan di kantin kejujuran. Maka, akan tersedia dua pilihan dalam benak kita. Pertama, uang aman, perut kenyang, namun hati tidak tenang.Â
Itu artinya, kita mengambil makanan hingga perut kenyang, tapi uang yang ada pada kita tidak jadi ditaruh di kotak uang yang sudah tersedia di sana. Bisa juga uang tersebut disimpan di kotak, tapi tidak sesuai dengan jumlah barang yang diambil alias 'Darmaji'.Â
Istilah ini pernah populer pada tahun 1990-an, saat belum ramai tentang program kantin kejujuran. Bahwa peserta didik jajan di kantin, ambil makanan umpama goreng pisang, bakwan, kerupuk, dan lain-lain.Â
Saat mau bayar, berkata kepada penjual, "Tadi saya makan bakwan satu." Â Padahal, yang dimakan itu sebenarnya ada lima. Nah, itulah yang dinamakan Darmaji, akronim dari 'dahar lima ngaku hiji'.
Kedua, uang yang ada di saku habis dipakai buat bayar, hanya mendapat dua buah gorengan saja. Masih lapar sih, tapi hati terasa tenang. Itu artinya, kita memilih untuk bertindak jujur.Â
Ada atau tidak ada penjaga di sana, kita tetap menjaga kejujuran. Walau sebenarnya, peluang untuk berlaku curang dalam keadaan tersebut sangat besar. Tapi, kita memilih untuk melakukan hal terbaik sesuai hati nurani.
Nah, itulah yang disebut dengan persepsi. Sebagai manusia, secara alami kita bertindak berdasarkan persepsi yang terbentuk dalam pikiran kita.Â
Terkadang niat baik saja tidak cukup untuk menjadikan kita sebagai orang yang jujur. Karena, saat terlihat ada peluang atau kesempatan.Â
Maka, bisa saja dalam sekejap mata niat tersebut terkalahkan oleh banyak faktor. Bisa pertimbangan secara ekonomi, ego dan pembenaran. Umpama, "Siapa suruh tidak ada penjaganya, jadi memberikan peluang untuk orang berlaku tidak jujur."
Mengapa persepsi peserta didik itu penting bagi perkembangan program kantin kejujuran?
Hal ini sangat beralasan dan masuk akal. Karena, bila kita lihat dari tujuan dilaksanakannya program kantin kejujuran di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia adalah menanamkan dan memberikan edukasi tentang nilai-nilai kejujuran kepada peserta didik sejak dini.Â
Dengan harapan, di masa depan nanti ketika peserta didik sudah menjadi anggota masyarakat, bekerja di mana pun. Baik instansi pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, dan lain-lain. Mereka tidak akan korupsi, lantaran sudah terbiasa bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, persepsi peserta didik sangat penting bagi perkembangan program kantin kejujuran. Berhasil tidaknya program ini mau tidak mau menuntut peran serta peserta didik di dalamnya. Bagaimana mereka mengaplikasikan budi pekerti, salahsatunya bersikap jujur saat jajan di kantin kejujuran.
Di dalam pendidikan dijelaskan bahwa peserta didik merupakan target utama. Mereka adalah subyek sekaligus sasaran yang menjadi prioritas. Jadi, dengan begitu penting bagi pemerintah, dalam hal ini Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) mengetahui bagaimana persepsi peserta didik terkait kantin kejujuran.
Apa yang dimaksud persepsi peserta didik?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi diartikan sebagai pikiran, keyakinan, dan perasaan tentang orang, situasi, dan peristiwa.
Melengkapi definisi di atas, Walgito (2010) menyebutkan bahwa, persepsi merupakan sebuah proses yang diawali dengan kegiatan penginderaan, yakni proses diterimanya sebuah stimulus atau rangsangan oleh seseorang melalui panca indera yang dimilikinya. Kegiatan ini disebut juga dengan proses sensoris.Â
Persepsi tidak hanya terbatas pada proses dan apa yang tersimpan dalam pikiran, lebih dari itu persepsi juga menentukan tindakan seseorang dalam berbuat sesuatu yang bernilai.Â
Sejalan dengan hal itu, Robbins (2003:160) menyebutkan bahwa persepsi diartikan sebagai sebuah proses yang ditempuh individu, dengan tujuan untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan yang ditangkap oleh alat indera mereka. Agar hal tersebut dapat memberikan makna dan manfaat bagi lingkungan mereka.Â
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi dimulai dari saat seorang individu melihat suatu obyek yang ada di depannya.Â
Berdasarkan proses penginderaan dengan melihat, mendengar, merasakan melalui sentuhan tangan, merasakan dengan hati. Akhirnya akan muncul keyakinan, kesan, dan pendapat yang terekam dalam pikiran.
Semua kesan yang ditangkap tersebut ditafsirkan oleh akal sehingga saat menjadi tindakan akan memberikan makna dan manfaat. Baik bagi diri orang tersebut, maupun bagi lingkungannya.
Sebagai contoh, saat kita melihat di hadapan kita banyak sampah yang berserakan, tercium bau busuk yang menyengat, terdengar suara lalat berdengung mengerumuni kotoran tersebut. Maka, akan muncul persepsi dalam pikiran kita. Bahwa, ternyata sangat tidak nyaman dan tidak enak kalau lingkungan banyak sampah.Â
Lalu, dari persepsi tersebut akan mendorong kita untuk bertindak melakukan suatu kegiatan yang bermakna dan bermanfaat, misal memungut sampah-sampah tersebut dan membersihkannya.
Bagaimana cara kita mengetahui persepsi dari peserta didik?
Mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana cara kita mengetahui persepsi dari peserta didik terkait kantin kejujuran. Sebagai pendidik, hal ini dapat kita ketahui dengan beberapa cara. Pertama, kita melakukan wawancara sederhana terkait beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kantin kejujuran.
Umpama kita mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka, menanyakan pendapat, bagaimana sikap peserta didik, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan kantin kejujuran.Â
Berikut adalah beberapa contoh pertanyaan yang bersifat terbuka.
1. Bagaimana pendapat kamu tentang kondisi kantin kejujuran yang ada di sekolah kita?
2. Hal apa yang menurut kamu perlu diperbaiki dari kondisi kantin kejujuran yang ada di sekolah kita?
3. Akhir-akhir ini, kantin kejujuran di sekolah kita terus merugi. Ada indikasi banyak peserta didik yang melakukan kecurangan, yakni jajan dengan tidak membayar. Menurut pendapat kamu, bagaimana cara mengatasinya?
4. Bagaimana kriteria kantin kejujuran yang ideal menurut pendapat kamu?
5. Jika modal awal kantin kejujuran sudah habis karena mengalami kerugian, apa solusi terbaik menurut kamu agar kantin kejujuran tetap dapat beroperasi?
Kedua, selain dengan mengadakan wawancara, kita juga dapat mengetahui persepsi peserta didik melalui angket. Sebenarnya tidak harus semua peserta didik kita bagikan angket.Â
Ambil saja sampel, umpama 32 orang yang diambil secara acak dari keseluruhan peserta didik. Karena, sampel itu akan mewakili pandangan dan pendapat peserta didik pada umumnya.Â
Pertanyaan untuk angket kita bisa menggunakan daftar ceklis atau sesuai tidak sesuai. Bila menginginkan jawaban yang lebih panjang. Pertanyaan di atas bisa kita gunakan.
Saya sudah melakukan kedua teknik tersebut. Berikut adalah jawaban peserta didik berkaitan dengan lima pertanyaan di atas.Â
1. Berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Peserta didik mengungkapkan bahwa kondisi kantin kejujuran yang ada di sekolah mereka terlalu kecil, pengap, kurang strategis, stok makanan yang dijual hanya sedikit, fasilitasnya tidak memadai, dan kurang terawat kebersihannya.
2. Peserta didik memberikan saran agar ada jadwal piket bagi kebersihan kantin kejujuran yang berasal dari peserta didik. Selain itu, mereka juga mengusulkan agar dinding kantin kejujuran dicat ulang dengan warna yang lebih fresh.
Peserta didik putri bahkan mengusulkan agar di kantin kejujuran dijual pembalut. Hal itu, dikarenakan mereka kadang merasa malu untuk membeli ke warung atau ke supermarket.
3. Terkait punishment kepada peserta didik yang melakukan kecurangan, diperoleh jawaban bahwa segi keamanan harus diperketat. Kalau bisa pasang CCTV di semua sudut, cek CCTV secara berkala, dan pasang alarm anti maling. Biar kalau ada indikasi ketidakjujuran langsung dapat dicek dan ditetapkan punishment yang sesuai.
4. Kriteria kantin kejujuran yang ideal menurut peserta didik diperoleh beberapa data yang cukup mencengangkan. Masuk akal karena hal ini menyangkut selera dan kriteria ideal. Tentu saja, setiap peserta didik akan mengungkapkan bagaimana kriteria ideal menurut mereka.
Dari segi bangunan, mereka menginginkan jika posisi kantin kejujuran itu seharusnya terletak di tempat yang strategis, memiliki pencahayaan yang baik, dan ventilasi yang bagus, agar makanan yang ada di dalam kantin tersebut tetap sehat dan tidak mudah bau apak.
5. Terkait modal kantin kejujuran yang terus menipis, bahkan habis. Mereka menawarkan untuk menggalang dana dari peserta didik. Tidak harus besar, seribu rupiah saja dari satu orang peserta didik.Â
Hal ini, nantinya akan membuat peserta didik merasa memiliki kantin kejujuran, sehingga peluang untuk melakukan kecurangan akan dapat ditekan. Karena, mereka merasa kalau berlaku tidak jujur, mereka juga yang rugi. Karena, ada uang mereka juga dalam modal tersebut.
Itulah, alasan mengapa persepsi peserta didik sangat penting untuk mengembangkan kantin kejujuran hingga berhasil.Â
Semoga, peserta didik kita menangkap kesan yang baik dari apa-apa yang dilihat, didengar,dan dirasakan di hadapannya. Setelah itu, mereka mampu memiliki persepsi yang utuh dan sempurna, sehingga persepsi tersebut, menjadi dasar bagi tindakan mereka dalam melakukan hal yang bermakna dan bermanfaat bagi lingkungannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H