Saat membaca puisi yang ditulis oleh orang lain. Baik di media cetak maupun secara online di blog. Kok ya, sepertinya kita juga bisa membuat yang sama persis seperti itu.Â
Diksi yang dipakainya pun kata-kata yang biasa dipakai sehari-hari, rima dan sistematika penulisan baitnya pun sederhana saja. Rasa-rasanya kok gampang ya menulis puisi.
Lalu, karena merasa tertantang, dalam hati ada keinginan untuk membuktikan bahwa kita juga mampu menulis puisi seperti itu.Â
Diambillah sebuah notes dan balpoint runcing, dipilih yang enak untuk dipakai menulis. Agar ide tidak tersendat, saat dituliskan. Duduk dekat jendela dengan view alam bebas, dalam hati berkata :Â
Baca juga: Saat Writer"Mengalir nih ide gue, jangankan satu puisi, lima puisi sekaligus juga bisa." Sorak hati jumawa.
Duduklah kita di sana, memandang ke tempat yang jauh, mencangklong dagu, tangan mengepit balpoint.
Beberapa kali memandang ke arah gunung yang membiru, ujung balpoint hinggap di ujung bibir, sebagai pertanda menimbang-nimbang, "Tema apa ya, yang pantas ditulis, yang akan disukai banyak orang?"
Lalu, menulis 'Gunung yang indah'. Dicoret lagi menjadi 'cantiknya gunung itu'. Dibolak-balik, kok terasa hambar, ya. Seperti bukan puisi.Â
Kembali lagi, tatapan terpusat kepada kabut yang menyelimuti pegunungan. Sekarang, ujung balpoint ada di kening. Itu tandanya, sedang berpikir keras. Naik satu tingkat dari level yang pertama.
Beberapa jam duduk termangu. Tidak satu pun puisi dapat kita tuliskan. Padahal, membaca karya orang lain terasa seperti cetek saja menulis karya seperti itu. Bahkan, kita menganggap bahwa kita akan dapat menghasilkan karya yang lebih baik dari itu. Buktinya, nihil kan.