Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Tradisi "Bedugan" sebagai Sistem Waktu Bekerja bagi Buruh Tani

22 Juni 2022   09:30 Diperbarui: 22 Juni 2022   12:06 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi pembatasan waktu kerja dengan berpatokan pada bunyi bedug adzan zuhur ini, sudah berlangsung lama dan turun-temurun. 

Sebagai sebuah warisan khazanah kekayaan budaya leluhur kita, bedugan tampil sebagai kearifan lokal yang patut dibanggakan. Hal ini membuktikan bahwa leluhur kita pada zaman dahulu, sudah sangat cerdas dalam mengelola sistem pertanian. 

Ada alasan psikologis yang dapat dijelaskan terkait tradisi bedugan ini. Bahwa, secara psikologis, kemampuan dan atensi fisik dan psikis manusia saat bekerja itu akan full dan optimal dalam rentang waktu dari pukul 7.00 hingga waktu adzan zuhur tiba. Lewat dari waktu itu, performa akan menurun. 

Hal ini sejalan dengan sudut pandang agama, bahwa setelah adzan zuhur adalah waktu yang tepat untuk istirahat dan tidur siang, agar vitalitas dan energi kembali pulih. 

Oleh karena itu, di Jepang yang terkenal dengan gaya hidup workaholic bagi para pekerjanya. Di beberapa perusahaan sudah menerapkan aturan tidur siang di kantor pada pukul 12.00 siang. 

Nah, itulah selayang pandang berkenalan dengan tradisi bedugan yang ada dalam masyarakat Sunda. 

Semoga saja polemik yang terjadi dapat segera diatasi, hingga pertanian yang kita jalankan berkah dan menguntungkan. Karena, saya adalah salah satu produk yang dihasilkan dari hasil pertanian yang dikerjakan oleh orang tua saya. 

Meski saya sendiri tidak menjadi petani, saya selalu berharap ada banyak generasi muda yang mau menjadi petani yang profesional. 

Petani-petani yang berdasi, berasal dari perguruan tinggi, berjuang mengangkat harkat dan derajat para PETANI (Penjaga Tatanan Negara Indonesia) Indonesia seperti yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun