Bahkan orang tua yang memiliki profesi sebagai petani pun, mereka tidak mau jika anaknya meneruskan pekerjaannya menjadi petani.Â
Saya merasa sangat yakin, hanya ada satu orang dari sepersekian juta orang tua yang mengizinkan anaknya untuk menjadi petani.Â
Karena, berdasarkan pengalaman, orang tua saya pun yang bertani dari kecil dan terhitung berhasil. Hingga dapat menyekolahkan ketiga anaknya sampai perguruan tinggi.Â
Beliau berkata, "Sekolah yang rajin supaya cita-citamu tercapai, jadi guru, dokter, atau polisi. Jangan seperti bapak dan ibu hanya jadi petani." Nah lho.
Perlu aturan yang baku
Terkait sistem waktu kerja yang masih menjadi masalah hingga saat ini. Saya merasa jika hal ini penting untuk memiliki aturan baku yang ditetapkan dan disetujui bersama antara petani dan buruh tani. Bagaimana caranya agar petani dan buruh tani sama-sama diuntungkan. Perlu dibicarakan solusi yang win-win solution.Â
Entah mungkin dengan menyepakati akhir kerja bukan lagi berpatokan pada bunyi bedug, tapi pada jumlah berapa lama buruh tani harus bekerja.Â
Umpama, jika 6-7 jam, berarti sepakati saja, waktu kerja berakhir pada pukul 13.00. Walau mungkin akan ada sistem tradisi yang tergeser bahkan hilang oleh kebijakan ini.
Opsi lainnya yang dapat dipilih terkait dengan upah kerja. Apakah akan ada penambahan atau tetap, jika buruh bekerja hingga pukul 13.00.Â
Hal ini juga penting untuk dimusyawarahkan. Ibu saya bahkan berani untuk menambahkan upah sebesar Rp 5.000, bila buruh tani dapat menyelesaikan semua pekerjaan saat lewat beberapa menit dari bunyi bedug.
Bedugan sebagai kearifan lokal