Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Hoarding Disorder dan Sadar Lingkungan, Apakah Ada Hubungannya?

19 Februari 2022   14:37 Diperbarui: 22 Maret 2022   18:12 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hoarding disorder | pexels.com/SHVETS Production

Kebiasaan menyimpan barang-barang bekas

Saya, dan mungkin beberapa ibu-ibu yang lain. Memiliki sebuah kebiasaan, yang menurut hemat saya adalah kebiasaan yang baik, ya. Mengapa, karena saving itu memiliki konotasi positif, kan? 

Ada menyimpan uang, alias menabung, menyimpan emas alias investasi, menyimpan membeli tanah, rumah alias invest properti, asal jangan menyimpan kesedihan saja. 

Kebiasaan menyimpan yang dimaksud adalah menyimpan barang-barang bekas seperti kantong plastik bekas belanja, bubble wrap pembungkus online, dan kardus-kardus bekas mie, susu, dan kotak makanan. 

Ada beberapa alasan, saya melakukan hal tersebut, mungkin bagi ibu-ibu yang lain juga.

Pertama, merasa sayang kalau dibiarkan terbuang percuma. Lumayan kan kantong plastik dapat digunakan lagi. Apalagi kantong plastik bekas belanja di supermarket, kualitasnya lumayan bagus. 

Sayang bangetlah kalau harus dibuang ke tempat sampah. Lebih berguna jika digunakan ulang. Umpama sebagai tempat sampah, mengantongi bekas diapers anak menjadi wadah untuk makanan yang akan diberikan kepada orang lain, umpama tempat keripik, pisang, dan lain-lain. 

Kedua, alasan penghematan, bila harus beli kantong plastik, merogoh kocek lagi. Mending uangnya ditabung lah ya di celengan. 

Bila kita membeli kantong plastik ukuran kecil saja berapa tuh, apalagi bila kita butuh kantong plastik yang besar, Rp 2.000 untuk satu biji. Bagaimana kalau butuh banyak? 

Uang semua tuh yang harus dikeluarkan. Jika kita memiliki simpanan kantong plastik, kan tinggal ambil di laci, langsung bisa dipakai, praktis dan yang lebih penting hemat.

Tiga, bisa digunakan suatu saat nanti, umpama Anda suka menyimpan bubble wrap bekas pembungkus belanja online. Bisa tuh digunakan untuk alat bermain bersama buah hati, rileks banget bisa pencet-pencet bubble wrap, hati terasa puas mendengar suara cetesss! yang nyaring. 

Konon, katanya meremas-remas bubble wrap termasuk terapi stres juga, lho. Coba saja, ya kalau tidak percaya. Contoh kedua, bila Anda suka menyimpan kardus bekas mie, susu, dan es krim. 

Benda-benda tersebut, sangat besar jasanya, lho. Saat buah hati ada tugas prakarya dari sekolah, umpama membuat kotak tisu dari kardus, atau menghias tempat pensil dari kotak pasta gigi. 

Bayangkan, jika harus beli pasta gigi, namun yang dibutuhkan kotaknya saja. Kan ribet, ya! minta pada tetangga malu-maluin. 

Nah, itulah beberapa alasan mengapa saya suka menyimpan-nyimpan barang bekas di rumah. Saya yakin, semua ibu-ibu di Indonesia memiliki kebiasaan ini. Minimal menyimpan satu item barang bekas, ya.

Namun, siapa nyana ibu-ibu milenial, ternyata punya kebiasaan menyimpan benda yang dianggap perlu untuk digunakan lagi di suatu saat dibutuhkan. 

Walau memang tanpa disadari, sering kali timbunan barang-barang bekas tersebut, malah tidak terpakai sama sekali, ya. Itu adalah termasuk gangguan kejiwaan. Oh, My Good!

Hoarding Disorder

Dilansir dari hellosehat.com bahwa hoarding disorder adalah sebuah gangguan kejiwaan atau masalah psikologis, bahkan termasuk kepada gangguan Obsessive Compulsive Disorder (OCD). 

Seseorang dikatakan mengalami gejala hoarding disorder jika merasakan kecemasan atau mengalami stres berlebih karena keinginan untuk menyimpan benda-benda yang sebenarnya sama sekali tidak ia butuhkan. 

Pengidap hoarding biasanya akan mengalami kesulitan, jika diminta membuang barang tidak terpakai yang ada di rumahnya. Karena selalu beranggapan bahwa dia akan membutuhkan barang tersebut suatu saat nanti. Duh, jadi parno, ya. Kalau begitu, mungkin saya juga mengidap gangguan kejiwaan ini, ya. 

Hoarding disorder tidak terjadi begitu saja, ya. Ada faktor penyebab mengapa seseorang mengidap gangguan kejiwaan ini. Berikut beberapa penyebabnya:

Lingkungan keluarga yang kurang harmonis.

Kekurangan dari segi materi, saat masih anak-anak.

Ada anggota keluarga yang memiliki perilaku serupa.

Adanya gangguan depresi dan OCD.

Kecintaan pada benda yang tidak masuk akal

Perilaku membeli barang secara berlebihan.

Beranggapan bahwa banyak membeli barang adalah suatu kebahagiaan.

Gagal mengatasi kesedihan akibat kehilangan pasangan atau anggota keluarga.

Ternyata, perilaku hoarding disorder sangat berbahaya, ya. Bila tidak dengan secara tepat ditangani. Berikut beberapa dampak hoarding disorder:

Pertama, seseorang pengidap perilaku ini akan mengalami penurunan kualitas kehidupan, karena menimbun barang membuat tempat tinggal menjadi sempit. 

Penyimpanan barang yang tidak tertata dengan baik, menjadikan rumah sebagai sarang debu dan kualitas udara tidak sehat, menyebabkan penghuni rumah rentan terkena penyakit. 

Selain itu, pelaku hoarding juga mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan dalam segala hal di hidupnya, baik pribadi maupun berkaitan dengan pekerjaan. Hubungannya dengan orang lain pun, kurang harmonis.

Kedua, kebiasaan menimbun banyak barang tidak berguna di rumah, akan menyebabkan pasangan dan anggota penghuni rumah merasa tidak nyaman. Lalu, menegur pelaku hoarding, agar memilah dan membuang sebagian barang tidak berguna tersebut. 

Di sini, konflik akan terjadi antar keluarga. Dimulai dari hubungan yang kurang harmonis, perkembangan anak terganggu, dan bila tidak cepat ditangani akan menyebabkan kehancuran rumah tangga.

Ketiga, pelaku hoarding disorder akan mengalami gangguan psikologi yang lebih serius seperti, risiko gangguan makan, pola makan abnormal, dementia, dan kehilangan konsep lingkungan eksternal (psikosis). 

Kabar baiknya, perilaku hoarding disorder dapat disembuhkan, ya. Tentu saja, dengan terapi perilaku kognitif dan terapi obat anti depresan.

Jika gangguan kejiwaannya sudah mengarah ke depresi. Terapi perilaku kognitif memiliki tujuan agar pelaku hoarding mengubah konsep akan diri dan lingkungan sekitarnya. Sehingga, ia dapat belajar mengambil keputusan tentang apa yang ia butuh dan tidak butuh.

Belanja Online

Diakui atau tidak, pada saat pandemi, belanja dengan cara online meningkat. Hal ini diakibatkan oleh beberapa alasan. 

Pertama, kebijakan dan aturan pemerintah yang menghimbau agar masyarakat "Di Rumah Saja". 

Kedua, promo diskon dan gratis ongkir yang ditawarkan market place, mereka seakan berlomba-lomba memberikan harga yang murah, fasilitas, dan keuntungan berbelanja kepada para konsumen. 

Ketiga, kurangnya kegiatan produktif di rumah, selain scroll medsos, dan membuka aplikasi-aplikasi belanja online. Sehingga tanpa disadari, tangan klik keranjang dan melakukan pemesanan.

Ternyata, belanja online, tidak berakhir hingga barang sampai di rumah pelanggan saja, ya. Ada masalah yang serius yang harus menjadi perhatian bersama. Dari mulai para pemilik market place, pelaku UMKM, hingga para konsumen. Karena, ternyata sampah yang dihasilkan dari bekas pembungkus belanja online menjadi penyumbang sampah terbesar kedua di masa pandemi.


Komposisi sampah (Sumber dari katadata)
Komposisi sampah (Sumber dari katadata)

Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa komposisi sampah rumah tangga berupa sisa makanan 28,3 % masih menduduki peringkat pertama. 

Sampah plastik di urutan kedua 15,73 %. Sampah yang berasal dari kayu/ranting berada di urutan ketiga 12,75 %. Kardus dan kertas/karton berada di urutan keempat 12,36 %. 

Nah, sampah yang berasal dari sisa belanja online adalah sampah plastik dan kardus atau kertas/karton. Bila dijumlahkan persentasenya, maka akan melebihi persentase sampah rumah tangga berupa sisa makanan yaitu 28,9 %. Jadi, dapat dikatakan bahwa sampah sisa belanja online lebih banyak dari pada sampah sisa makanan.

Sadar lingkungan

Menurut KBBI, sadar lingkungan adalah sikap dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang bersih, sehat, dan asri. Hal ini, patut dimulai dari individu-individu sebagai pelaku belanja online, contohnya saya. 

Alhamdulillah selama ini jika belanja online, kardus dan bubble wrap bekas pembungkusnya tidak seluruhnya saya buang ke tempat sampah. Tapi, ya itu tadi disimpan untuk mainan anak, terapi stres, dan prakarya. 

Ya, menurut hemat saya perilaku menyimpan kantong plastik bekas, kardus, kertas, karton, bubble wrap itu tidak termasuk kategori hoarding disorder, ya. 

Karena, kebiasaan ini dilakukan hanya sekedar menghemat, memanfaatkan, dan sayang saja. Bukan, karena kecemasan atau depresi. 

Jika, kantong plastiknya kotor, sudah rombeng, dan tidak layak disimpan. Maka, dengan senang hati, saya pun akan segera membuangnya ke tempat sampah.

Bahkan, menurut saya kebiasaan menyimpan barang-barang bekas ini merupakan kategori sadar lingkungan dan sesuai dengan slogan daur ulang sampah. 

Anda juga pasti tahu, kan 3R yaitu reuse, reduce, dan recycle. Nah, kebiasaan saya menyimpan barang -barang bekas sudah termasuk ke dalam 3 kategori tersebut ya. 

Jadi, untuk menjawab pertanyaan dari judul di atas, bahwa adakah hubungan antara hoarding disorder dengan sadar lingkungan? 

Ada, bila hoarding yang Anda alami masih dilakukan dalam taraf secara sadar. Tidak menyebabkan rasa cemas dan depresi, Anda juga tidak segan untuk membuang barang-barang yang memang harus dibuang. 

Tapi, jika hoarding Anda sudah sampai tahap depresi, maka itu bukan saja berbahaya buat diri Anda, namun juga untuk lingkungan sekitar, ya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun