Kedua, kebiasaan menimbun banyak barang tidak berguna di rumah, akan menyebabkan pasangan dan anggota penghuni rumah merasa tidak nyaman. Lalu, menegur pelaku hoarding, agar memilah dan membuang sebagian barang tidak berguna tersebut.Â
Di sini, konflik akan terjadi antar keluarga. Dimulai dari hubungan yang kurang harmonis, perkembangan anak terganggu, dan bila tidak cepat ditangani akan menyebabkan kehancuran rumah tangga.
Ketiga, pelaku hoarding disorder akan mengalami gangguan psikologi yang lebih serius seperti, risiko gangguan makan, pola makan abnormal, dementia, dan kehilangan konsep lingkungan eksternal (psikosis).Â
Kabar baiknya, perilaku hoarding disorder dapat disembuhkan, ya. Tentu saja, dengan terapi perilaku kognitif dan terapi obat anti depresan.
Jika gangguan kejiwaannya sudah mengarah ke depresi. Terapi perilaku kognitif memiliki tujuan agar pelaku hoarding mengubah konsep akan diri dan lingkungan sekitarnya. Sehingga, ia dapat belajar mengambil keputusan tentang apa yang ia butuh dan tidak butuh.
Belanja Online
Diakui atau tidak, pada saat pandemi, belanja dengan cara online meningkat. Hal ini diakibatkan oleh beberapa alasan.Â
Pertama, kebijakan dan aturan pemerintah yang menghimbau agar masyarakat "Di Rumah Saja".Â
Kedua, promo diskon dan gratis ongkir yang ditawarkan market place, mereka seakan berlomba-lomba memberikan harga yang murah, fasilitas, dan keuntungan berbelanja kepada para konsumen.Â
Ketiga, kurangnya kegiatan produktif di rumah, selain scroll medsos, dan membuka aplikasi-aplikasi belanja online. Sehingga tanpa disadari, tangan klik keranjang dan melakukan pemesanan.
Ternyata, belanja online, tidak berakhir hingga barang sampai di rumah pelanggan saja, ya. Ada masalah yang serius yang harus menjadi perhatian bersama. Dari mulai para pemilik market place, pelaku UMKM, hingga para konsumen. Karena, ternyata sampah yang dihasilkan dari bekas pembungkus belanja online menjadi penyumbang sampah terbesar kedua di masa pandemi.