Fenomena Ghozali Everyday
Hari ini masyarakat Indonesia tengah euphoria dengan kemunculan Ghozali atas kesuksesannya dalam menjual karya hasil foto dirinya melalui platform open sea dalam bentuk Non-Fungible Token (NFT).
Tidak dapat dipungkiri, bahwa diantara sebegitu sesaknya masalah hidup yang menerpa, ketegangan akibat Omicron, gempa dan longsor di beberapa daerah, dan wacana PTM yang menggelora.
Fenomena Ghozali mau tidak mau meniupkan angin segar yang menenangkan dan menawarkan salah satu alternatif mencari uang dengan cara yang mudah. Suka tidak suka masyarakat Indonesia saat ini sedang 'ter-Ghozali-Ghozali'.
Sudah menjadi rahasia umum bagaimana perjalanan mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro ini dalam menghasilkan karya berupa foto selfie.Â
Sejak usia 18 tahun remaja asal Semarang ini dengan tekun dan konsisten memfoto dirinya setiap hari. Sebuah kegiatan ringan dan mudah, ya. Mengingat memang saat itu swa foto sedang marak dan digandrungi.
Sebenarnya, setiap orang dapat melakukan hal ini. Yang membedakannya adalah bahwa Ghozali mampu 'konsisten' dalam melakukannya.Â
Hingga saat ini, Ghozali telah memproduksi seribu foto selfie dan menyimpannya di laman open sea. Nah, sikap inilah yang menjadikan pekerjaan Ghozali yang tampak remeh-temeh menjadi bernilai.
Non-fungible token (NFT)
Sebagai informasi, non-fungible token (NFT) adalah sertifikat atas sebuah kepemilikan properti digital atau karya seni yang akan diperjualbelikan secara online dengan memanfaatkan unit data dalam sebuah ledger.Â
Kita dapat menjual karya kita berupa hasil swa foto, lukisan, animasi, meme, item game, aneka barang online, kartu trading, aksi olahraga, akun media sosial, akun domain, fashion virtual, file suara, dan lagu. Tertarik?
Ada beberapa langkah yang harus kita ikuti, bila Kompasianer ingin mencoba menjual karya dalam bentuk NFT. Berikut saya rangkum dari berbagai sumber.
1. Pilih karya yang akan dijual, tentukan karya yang akan kamu ubah menjadi NFT, satu karya satu pemilik. Pastikan kamu mendapatkan hak intelektual untuk karya tersebut.
2. Pilih blockchain, agar dapat merubah file menjadi NFT kamu harus memilih blockchain yang akan kamu gunakan. Blockchain adalah teknologi system penyimpanan data digital yang terhubung melalui kriptografi. Kamu dapat memilih Ethereum, karena ini salah satu yang sering dipilih para seniman.
3. Siapkan dompet digital, untuk wadah bagi beberapa uang kripto kamu sebagai modal untuk mendanai investasi awal. Ada beberapa dompet digital yang dapat kamu pilih, seperti metamask, math wallet, alpha wallet, trust wallet, dan coinbase wallet.
4. Tentukan pasar NFT, setelah kamu membuat NFT kamu juga harus memilih pasar tempat kamu memperjualbelikan karya kamu. Ada beberapa platform NFT yang terkenal dan dapat dijadikan pilihan pasar kamu, seperti open sea, foundation, mintable dan lain-lain.
5. Upload file, pasar yang kamu pilih akan menyediakan panduan bagaimana cara mengunggah file karya kamu ke platformnya. Kamu juga perlu menghubungkan dompet digital kamu untuk membayar biaya mencetak NFT dan melakukan penjualan.
6. Mengatur proses penjualan, kamu perlu menentukan harga minimum, menetapkan waktu lelang, dan menetapkan royalti untuk terus mendapatkan uang dari NFT jika dijual di pasar sekunder.
7. Promosikan di media sosial, agar kamu dapat menarik banyak pembeli NFT kamu. Bagikan NFT kamu melalui link di platform media social kamu seperti twitter dan instagram.
8. Gunakan hashtag, agar postingan kamu tidak tenggelam dan tertimbun oleh informasi-informasi lain. Dengan hashtag kamu dapat meningkatkan peluang agar NFT dilihat oleh pembeli yang sedang mencari NFT.
9. Lakukan kolaborasi, karena kerja sama selalu lebih baik dan berhasil daripada kerja sendiri.
10. Tunjukkan proses pembuatan, karena hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri. Kamu dapat menunjukkan proses pembuatan NFT kamu dengan video time-lapse. Konten seperti ini akan membuat pembeli tertarik.
Generasi Stroberi 'Strawberry Generation'
Ghozali Everyday tahun 2022 sekarang ini berusia 22 tahun, artinya dia lahir pada tahun 2000. Generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 disebut generasi z atau generasi 'Zillenial' ada juga yang menyebut iGeneration, Gen Net, dan Gen Tech.
Nah, berdasarkan perhitungan tersebut, Ghozali termasuk pada generasi tersebut.
Akademisi dan praktisi bisnis, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. menyebutkan bahwa generasi ini disebut generasi stroberi.
Yaitu generasi yang penuh dengan gagasan kreatif, menguasai teknologi karena mereka lahir di tengah-tengah orang tua yang sudah familiar dengan gawai, memiliki ambisi tinggi untuk sukses, percaya diri, kritis dalam memecahkan masalah, memiliki kebiasaan multi tasking, dan berpikiran terbuka.
Kelemahan mereka adalah mudah menyerah, kecanduan internet, ingin serba praktis dan instant, minim loyalitas, minim pengalaman dalam dunia kerja, tidak suka diatur, manja, malas, penyendiri, arogan, tidak tahan dalam menghadapi tekanan sosial dan kerja keras, serta gampang sakit hati. Mirip seperti stroberi.
Coba Kompasianer lihat bagaimana stroberry. Dia hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang khusus, dirawat dengan cara-cara yang istimewa.Â
Buahnya berwarna merah cerah dan menarik hati bagi siapa saja yang melihatnya. Namun, dia mudah hancur bila terkena tekanan, mudah rusak dan penyek. Itulah karakteristik generasi stroberi.
Ghozali telah membuktikan bahwa generasi z berkualitas unggul
Dengan munculnya fenomena Ghozali Everyday, dunia seakan dibukakan mata dan fikirannya. Bahwa generasi z bukanlah generasi stroberi yang rapuh dan mudah hancur. Berikut adalah beberapa fakta tentang Ghozali yang dapat membuktikan bahwa generasi ini berkualitas unggul.
Pertama, Cerdas teknologi dan dapat memanfaatkannya dengan benar. Tidak diragukan lagi jika generasi z adalah anak-anak teknologi.Â
Tidak harus dipertanyakan lagi bagaimana kemampuan mereka dalam bidang yang satu ini. Karena, dari mulai lahir mereka sudah akrab dengan gawai dan internet.Â
Bagaimana anak-anak belia menonton cocomelon, scroll tiktok, dan mencari film kartun kesukaannya di youtube. Itu sudah dapat mereka lakukan, bahkan di saat usia belum dua tahun.Â
Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa Ghozali mampu membawa dan mengarahkan kecerdasan teknologi yang dimilikinya ke arah yang benar dan bermanfaat. Hal ini yang patut kita acungkan dua jempol.
Padahal, di jaman era keterbukaan seperti saat ini. Toh, bisa saja dia membimbing kecerdasan teknologinya itu ke arah negatif.Â
Umpama menciptakan virus yang merusak  telepon seluler dan laptop, menjadi hacker, dan produksi konten negatif.Â
Hal menuju ke arah sana amat terbuka lebar peluang dan kesempatannya. Mengingat saat ini, dari hal negatif pun popularitas dan viral akan mudah didapatkan dan akan banyak konsumennya.Â
Namun, Ghozali mampu membimbing dirinya ke arah positif dan berguna. Ini membuktikan bahwa dia tidak hanya cerdas secara intelligence quotients (IQ) tapi juga cerdas secara spiritual atau spiritual quotients (EQ). Ghozali memiliki dasar agama dan moralitas yang kuat.
Kedua, Visioner dan tidak mudah bosan. Ghozali tahu bahwa suatu saat NFT akan trend dan dihargai tinggi.
Oleh karena itu, dia terus dan terus menghasilkan karya dengan memfoto wajahnya dengan latar berbagai background. Itu ia lakukan setiap hari selama 5 tahun. Di usianya yang baru menginjak 22 tahun, Ghozali memiliki pandangan atau wawasan ke masa depan.
 Dia dapat melihat sebuah potensi yang dimiliki oleh suatu hal. Dalam hal ini non-fungible token (NFT) bagaimana ia dapat memprediksi sesuatu akan populer dan bernilai, padahal saat kemunculannya pada tahun 2014 banyak orang tidak tertarik dengan NFT.
Namun, Ghozali telah menangkap peluang emas tersebut dengan baik. Ia berhasil mengkolaborasikan antara kecerdasan IT yang dimiliki dengan kecerdasan finansial.Â
Padahal, sebagai anak muda, jika ia tidak visioner. Bisa saja Ghozali membagikan hasil swafoto-nya tersebut di media sosial, umpama facebook, instagram, dan twitter.Â
Tentu saja, yang akan ia dapat hanya beberapa like, komentar, dan perundungan. Karena, ia akan dianggap manusia kurang kerjaan. Membagikan foto wajah sendiri untuk dikonsumsi publik.
Ketiga, Konsisten dan pantang menyerah. Hal yang membuat saya berdecak kagum adalah Ghozali mampu konsisten dalam menghasilkan karya. Itu yang tidak semua orang dapat melakukannya.Â
Berbahan ide sederhana, yakni swa foto wajah setiap hari. Sebenarnya agak terlihat konyol, ya. Tapi, Ghozali tidak pantang menyerah, ia mampu bertahan dari tekanan sosial dan terus kerja keras.
Saya kira, pasti ada teman-teman, keluarga, dan orang-orang di sekitar Ghozali yang memberikan komentar tidak sedap dan menjatuhkan terkait aktivitas Ghozali saat itu. Karena, ya itu tadi. Sebagai orang awam, kita akan menganggap hal yang dilakukan Ghozali tidak bermanfaat dan sia-sia.Â
Namun, ternyata Ghozali mampu membuktikan bahwa dirinya adalah jiwa yang konsisten dan mampu bertahan dari tekanan. Sebuah sikap yang menurut para ahli bukan karakteristik generasi z.
Satu kata untuk Ghozali Everyday : Lanjutkan!
Sebagai generasi milenial yang lahir di tahun 80-an, saya berharap akan terus bermunculan Ghozali-Ghozali lainnya dalam berbagai hal bersifat digital yang bermanfaat.Â
Biasanya, munculnya sebuah fenomena akan diikuti oleh fenomena-fenomena baru berikutnya. So, satu kata untuk Ghozali Everyday : Lanjutkan! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H