Tentu saja, pertimbangan pertama adalah keamanan dan keselamatan anak kita. Pengasuh harus yang sudah kita kenal. Di mana rumahnya, bagaimana perilakunya, siapa keluarganya.Â
Makanya, dalam memilih pengasuh anak ada lika-likunya. Bahkan saya pernah memiliki pengalaman buruk dengan pengasuh anak saya yang pertama. Dia menyebabkan trauma psikis bagi perkembangan jiwa anak saya.Â
Si sulung anak saya selalu diancam untuk tidak berkata soal perlakuannya kepada anak saya. Bahkan, sampai sekarang pun, anak saya berusia 14 tahun.Â
Kalau ditanya tentang apa yang terjadi pada saat mulutnya bengkak ketika diasuh oleh pengasuh tersebut. Anak saya hanya menjawab, "Tidak ada apa-apa."Â
Padahal jelas-jelas dokter spesialis anak mengatakan bila bengkak diakibatkan oleh pukulan benda tumpul. Nah, lho. Makanya, setelah kejadian tragis tersebut, saya hati-hati sekali dalam memilih pengasuh anak.
Tidak ada pilihan lain
Bekerja adalah komitmen yang dibuat oleh seorang ibu saat dia memutuskan untuk membantu suami mencari nafkah, atau komitmen ketika dia memang satu-satunya sumber pencari nafkah.Â
Umpama, ketika suami sebagai sumber pencari nafkah utama tidak hadir. Karena berbagai sebab, misal karena perceraian, sakit, di-PHK, dan lain-lain. Â Jika seorang ibu sudah memutuskan. Maka, dia tentu saja sudah memikirkan tentang semua risiko yang akan terjadi di balik pengambilan keputusan tersebut.Â
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain. Maka, kerjakan kedua urusan tersebut dengan seimbang. Bila ada kendala di salah satu peran yang kita kerjakan, utamakan solusi terbaik untuk mengatasinya.Â
Anak tidak akan selamanya kecil. Skala prioritas harus kita terapkan dalam hal ini. Karena, toh menurut penelitian, anak-anak yang lahir dari ibu yang bekerja biasanya akan tumbuh lebih mandiri dan percaya diri.Â
Hal itu disebabkan karena anak melihat bagaimana ibunya bersikap profesional dalam pekerjaan dan statusnya sebagai ibu di rumah.