Meski satu rumah, dan kamar kami laki-laki dan perempuan hanya dipisahkan oleh ruang tamu, kami berkomitmen untuk tidak saling memasuki kamar yang bukan haknya. Jika ingin bertemu, kita tinggal teriak dari luar kamar, dan yang dipanggil akan datang.
Koordinasi dan menyusun program kerja kami lakukan di ruang tamu.
Kami keluar kamar saat Si Wuk berganti baju dan berdandan rapi. Maklum, di samping kencan juga mau kebaktian. Di antara kami bertujuh, hanya Si Wuk yang merupakan umat kristiani, jadi kami ijinkan Si Wuk dijemput teman laki-lakinya untuk kebaktian.
Tak lama, Si Wuk dan Mas Adam pergi bersama setelah berpamitan pada kami. Sebagai tim KKN kita tidak bisa meninggalkan desa seenaknya tanpa alasan yang diperbolehkan.
"Itu tadi pacar Si Wuk?" Tanya Kaka, Koordinator KKN desa Kami. Anak FKIP Bahasa Indonesia ini memang sudah sejak awal pembekalan KKN, naksir Si Wuk.
 Cinlok saat KKN itu sudah jadi cerita lumrah. Jadi kami tidak memandang aneh saat di antara teman satu tim ada yang terjebak cinlok. Sayangnya ini cinlok yang bertepuk sebelah tangan.
Kami berpandangan. Sebenarnya, di antara kami bertujuh, Kaka lah yang paling luwes bergaul dengan orang tua termasuk yang paling paham unggah unggah. Sebagai anak asli Solo, dan tinggal di desa, tentunya dia lebih paham dibanding kami yang datang  dari luar daerah. Maka kita pilih jadi koordinator Desa.
 Biar lancar saat berembug atau bahkan sekedar bincang-bincang dengan para perangkat dan  sesepuh desa menggunakan basa krama. Tapi soal asmara, sepertinya dia agak naif dan kekanak-kanakan.
"Sepertinya bukan. Cuma kakak tingkat dan teman di persekutuan gereja!" Vonny menjawab.
"Mungkin salah satu fans saja," kataku ikut menjawab. Si Wuk memang punya banyak fans yang bergantian menjenguk saat KKN.Â
"Sainganmu tuh, Ka!" Gepeng manas-manasin. Kaka hanya tersenyum kecut, tapi terlihat kalau tak bisa menahan cemburu.