"Assalamu'alaikum..! "
"Wa'alaikumsalam warahmatulloh..! "
"Jenangnya, Bu..!"
"Nggih Mbah! Sebentar ya..Â
Aku bergegas mengambil mangkok dan uang 5 ribu.Â
Sebenarnya, beli 2 ribu juga boleh. Tapi daripada terlalu sedikit dan repot ambil banyak wadah, aku lebih suka beli 5 ribu jadikan semangkok.
 Terkadang makan berdua sama suami. Terkadang dihabiskan sendiri sama suami.Â
Mbah Wiji sudah lumayan sepuh, tapi masih lincah dan cekatan. Setiap hari bersepeda keliling desa menjajakan bubur atau jenang sumsum.Â
Setiap kali melihat Mbah Wiji, saya teringat ibu. Usia mereka mungkin tidak jauh berbeda. Tapi Mbah Wiji masih begitu gesit.Â
Kuulurkan mangkok dan uang pembelian bubur pada Mbah Wiji.Â
"Ayahnya pergi? " Tanya Mbah Wiji.Â
"Anu Mbah. Masih tidur, mumpung libur. Tadi habis subuhan tidur lagi! " Jawabku.Â
"Masya Allah. Iya, ini ahad kok ya, jadinya libur, "
Mbah Wiji memang selalu menanyakan suamiku, karena mereka biasanya nyambung kalau ngobrol. Suamiku sangat suka, sebab setiap kali beli bubur sumsum, Mbah Wiji selalu mendoakan kami sekeluarga.Â
"Mbah doakan, semoga putra-putrinya sholeh sholehah, "
"Anu Mbah, anak saya laki-laki semua, "
"Oh, iya. Semoga putra-putranya menjadi anak yang sholeh, patuh pada orang tua, lancar sekolahnya, "..Â
" Dua-duanya sudah bekerja semua, Mbah, "
"Oh, iya. Semoga sukses pekerjaannya, berlimpah rejekinya, dan menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warohmah, bahagia dunia akhirat. Aamiin..! "
"Aamiin...! " Aku mengaminkan doa Mbah Wiji.Â
"Sama ketan hitamnya ya, ayah biasanya suka ketan hitam! " Kata Mbah Wiji.Â
"Nggih, Mbah, " Jawabku. Biasanya aku memang memilih bubur sumsum saja tanpa ketan hitam.
 Sebab terkadang aku mengunyah gabah, atau rasanya aneh menurutku. Jadi aku lebih suka bubur sumsum yang murni saja.Â
Tapi sesungguhnya pakai ketan hitam juga tidak masalah. Yang penting dagangan Mbah Wiji dibeli, kata suamiku.Â
Itulah sebabnya Mbah Wiji akrab dengan suamiku. Kalau ada rejeki berlebih, atau menjelang hari raya biasanya suamiku berbagi amplop pada Mbah Wiji.Â
Setiap kali Mbah Wiji lewat, suamiku menyuruhku membeli dagangannya, sebab sekarang jarang lewat. Paling seminggu sekali.Â
Pernah juga sih, tidak membeli, sebab di kulkas masih berderet mangkok-mangkok bubur sumsum yang belum terjamah karena setiap hari Mbah Wiji lewat. Sedang kami tidak setiap hari suka bubur.Â
Hari ini, kebetulan aku lagi pengin makan bubur sumsum. Jadi kuhabiskan semua bubur sumsum dari Mbah Wiji. Enak dan segar, dengan santan encer yang melimpah.Â
Berbarengan dengan suara adzan dhuhur, suamiku terbangun.Â
"Siapa tadi Dek, kok seperti ada  orang? "
"Mbah Wiji, " Jawabku.Â
"Buburnya sudah kamu beli? "
"Sudah! "
"Mana? Sini kumakan. Kamu biasanya nggak mau kan? "
"Nggak ke masjid dulu? Itu sudah adzan! " Jawabku.Â
"Iya, nanti saja, habis dari masjid! "
"Oke! "
Suamiku bergegas mengambil air wudhu, dan pamit ke masjid.Â
"Ke masjid dulu, Dek! Assalamu'alaikum..! "
"Wa'alaikumsalam warahmatullah..! "
Sepeninggal suamiku aku langsung beraksi jadi keong mas. Hahaha...Â
Tahu nggak dongeng keong mas? Itu tuh, putri cantik yang keluar dari keong mas, dan selalu memasak diam-diam untuk mbok rondo dadapan, jadi kl mbok rondo pulang dari sawah, jadi terkaget-kaget karena sudah tersedia makanan lengkap tanpa tahu siapa yang masak. Hehehe..Â
Kali ini aku membuat bubur sumsum versi kesukaan ibu. Air gulanya tidak dilarutkan, tapi berupa gula yang disisir tipis, dan ditaburkan di atas bubur sumsum sampai meleleh, jadi tampilannya cantik. Begitu kata ibu.Â
Jadi itung-itung membuat hadiah buat hari ibu, aku membuat bubur sumsum sesuai kesukaan ibu.Â
Sesendok tepung tapioka, 3 sendok tepung beras, dan sedikit garam. Sesendok santan instan, dan segelas air. Larutkan sampai tidak bergerindil, dan panaskan sampai mengental sambil diaduk terus dan kecilkan api.Â
Masukkan dalam mangkok, dan taburi gula merah yang disisir halus.Â
Taraaa.. Bubur sumsum sudah jadi.Â
###
"Assalamu'alaikum..! "
"Wa'alaikumsalam warahmatullah.! "
Suamiku sudah pulang dari masjid.Â
"Dek, mana bubur sumsum nya? "
"Nih...! "
"Kok masih panas? Kamu panasin? " Kok sepertinya lain, tidak seperti biasanya! "
"Sudah, dicobain dulu! "
"Enak! "
"Ya, sudah! Dihabisin! "
"Tapi kok tidak seperti buburnya Mbah Wiji, ya? "
Aku hanya diam. Pura-pura asyik menikmati makan siangku...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H