"Sama ketan hitamnya ya, ayah biasanya suka ketan hitam! " Kata Mbah Wiji.Â
"Nggih, Mbah, " Jawabku. Biasanya aku memang memilih bubur sumsum saja tanpa ketan hitam.
 Sebab terkadang aku mengunyah gabah, atau rasanya aneh menurutku. Jadi aku lebih suka bubur sumsum yang murni saja.Â
Tapi sesungguhnya pakai ketan hitam juga tidak masalah. Yang penting dagangan Mbah Wiji dibeli, kata suamiku.Â
Itulah sebabnya Mbah Wiji akrab dengan suamiku. Kalau ada rejeki berlebih, atau menjelang hari raya biasanya suamiku berbagi amplop pada Mbah Wiji.Â
Setiap kali Mbah Wiji lewat, suamiku menyuruhku membeli dagangannya, sebab sekarang jarang lewat. Paling seminggu sekali.Â
Pernah juga sih, tidak membeli, sebab di kulkas masih berderet mangkok-mangkok bubur sumsum yang belum terjamah karena setiap hari Mbah Wiji lewat. Sedang kami tidak setiap hari suka bubur.Â
Hari ini, kebetulan aku lagi pengin makan bubur sumsum. Jadi kuhabiskan semua bubur sumsum dari Mbah Wiji. Enak dan segar, dengan santan encer yang melimpah.Â
Berbarengan dengan suara adzan dhuhur, suamiku terbangun.Â
"Siapa tadi Dek, kok seperti ada  orang? "