Jadi, bagaimana?
Aku ingin menulikan pendengaranku saja ketika dia menanyakan hal itu. Aku kehabisan alibi untuk pertanyaan ke empat ratus sembilan puluh sembilan kalinya dengan kalimat dan intonasi yang sama. Kurasa dia pantang menyerah meskipun alibiku lebih banyak dari pertanyaan yang dia ajukan. Pasti, pertanyaan semacam itu akan sampai ke kupingku lagi sore ini.
****
Ini bukan malam Minggu, hanya hari biasa yang menyisakan pegal-pegal di sekujur badan menjelang senja. Aku sudah duduk di dalam mobil dengan seatbelt terpasang dan tidak tahu akan dibawa kemana oleh pengemudinya.
Aku enggan bertanya. Dia tampak kelelahan, aku tidak ingin menambah rasa lelahnya dengan pertanyaanku yang tidak penting. Hal yang lebih penting saat ini adalah membiarkanku tidur dan biarlah Si Pengemudi membangunkanku ketika sudah sampai di tempat tujuan. Aku terlelap di kursi samping kemudi.
"Bangun, Sayang. Sudah sampai." Aku merasakan hangat sapuan tangannya di pipiku. Si Pengemudi yang kucintai, Arsya.
Aku bertanya ada di mana, tetapi tidak ada jawaban. Arsya keluar dan membukakan pintu mobil untukku. Menggandengku. Mengawalku berjalan menuju tepian pantai. Ya, pantai dengan warna senja yang merona.
Bayangan tubuhku dan tubuh Arsya membentuk siluet yang memantul pada air pantai. Jika ada yang memotret, hasilnya akan menjadi seperti ini: sepasang kekasih, tangan perempuan menggantung di leher lelaki, tangan lelaki melingkar di pinggang perempuan, tidak ada jarak dari tubuh mereka, ombak menyapu kaki-kaki telanjang mereka, dan warna-warna senja menembus di antara celah wajah-wajah mereka saat berciuman. Romantis!
Namun bagiku, ini hanya sebuah pelukan dari sepasang sejoli yang tengah didera lelah tak berkesudahan. Menjadikan suara deburan ombak sebagai obat sementara, sisanya akan ditemukan lewat obrolan-obrolan sampah selepas pelukan ini.
"Jadi, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkan usulanku?" Pembuka yang membosankan untuk obrolan sampah di sore yang jarang sekali romantis begini.
"Aku bosan, Arsya. Tidak ada hal lain untuk obrolan kita? Pekerjaanmu di kantor, barangkali." Aku tidak yakin dengan omonganku sendiri. Mendengarkan cerita dari gedung bertingkat tempat Arsya berkarir, sama membosankannya dengan pertanyaan, jadi bagaimana? Cerita yang melulu tentang Bos yang memberinya reward setiap minggu, Bos yang tiap waktu tak terduga menawarkan kenaikan jabatan, juga cerita-cerita lain yang itu semua hanya sogokan supaya Arsya tetap tutup mulut atas perselingkuhan Si Bos dengan tukang bersih-bersih di kantor yang --menurut Arsya- lebih seksi dari sekretarisnya sendiri. Gila, memang!
Arsya menarik napas berat, membuatnya terlihat menyedihkan. Tidak ada kalimat lanjutan dari bibirnya. Hening. Memandangiku dengan tatapan penuh harap. Meremas jemariku, seakan memaksaku untuk berkata "ya" atas usulannya.
"Iya, Arsya, kali ini kamu menang. Hmmm, bukan! Bukan! Bukan kamu yang menang, tapi setan dalam dirimu. Itu!" Ketusku. Meski begitu, segaris senyum timbul dari bibir Arsya, anehnya, sorot matanya justru meredup.
***
Mataku susah terpejam. Di dalam imajinasiku ramai akan cerita-cerita bahagia di masa depan bersama Arsya. Namun, segala obrolan sampah sore tadi membuatku kelimpungan memikirkannya.
"Serius, kamu terima usulanku?" Arsya meyakinkan. Aku mengangguk dengan sedikit penyesalan dalam hati. "Alasannya?" kejarnya lagi.
Kamu benar, Arsya, aku tidak perlu meragukanmu. Kamu berhasil meyakinkanku saat ini, meskipun sebenarnya aku seringkali kehilangan rasa percaya terhadapmu.Â
Kamu selalu meminta kehormatanku di tiap perayaan hari jadi kita. Bukan hanya itu, di waktu-waktu tertentu kamu juga meminta hal yang sama.Â
Entah setan darimana yang membujukmu demikian. Aku bersikeras menolak! Menolak! Menolak! Aku marah, tetapi dengan sikapmu yang tenang, kamu langsung meredam amarahku. Mungkin sedang ada malaikat lewat. Lalu, kamu melupakan permintaanmu sendiri. Kamu mengalah.Â
Seringkali hubungan kita ricuh karena permintaanmu itu. Hingga menjelang tahun ke enam di hubungan kita, kamu memintanya lagi.Â
Permintaanmu kali ini membuatku mempertimbangkan. Katamu, kita bukan lagi anak ingusan. Kita adalah sepasang orang dewasa yang sedang berjuang menuju masa depan.Â
Masa depanku adalah kamu, pun sebaliknya. Esok, ketika kita merayakan kebahagiaan di masa depan dengan sebuah pernikahan, kemudian melakukan hubungan intim, rasanya akan sama saja jika kita melakukannya sekarang.Â
Kemudian kamu mengusulkan, Bagaimana jika kebahagiaan dari pernikahan itu kita 'cicil' dari sekarang? 'Kan sama saja. Pertimbanganku semakin mantap ketika kamu menyampaikan keinginanmu untuk menikahiku tahun besok.
Bodohnya, aku menyetujui usulan Arsya. Jujur saja, aku mendadak sinting saat ini.
***
Waktu merangkak menuju gelap. Hujan baru saja selesai, menyisakan hawa dingin yang membuatku tak ingin lepas dari dekapan Arsya. Di kamar nomor 314 ini, aku dan Arsya mengagendakan sebuah perayaan untuk masa depan. Perayaan yang sepakat untuk kami cicil dari sekarang. Logikaku tak lagi berfungsi. Pertahananku runtuh.
"Terima kasih, Sayang, sudi menemaniku sampai enam tahun ini. Aku sangat mencintaimu. Tidak ada lagi selain kamu. Aku punyamu, pun sebaliknya. Selamanya," ucap Arsya lembut.
Sorot mata yang beberapa waktu lalu tertangkap redup oleh penglihatanku itu, kini menjadi nyalang. Seakan mendapati mangsa di depan mata. Arsya semakin mengeratkan dekapannya.Â
Bibirnya mulai menjelajah mengelilingi leherku sebelum akhirnya berhenti melumat habis bibirku. Tidak ada perlawanan dariku. Sekali lagi, logikaku sedang tidak berfungsi, terlebih aku justru tenggelam pada kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelum ini.
Ini akan menjadi malam yang panjang. Di luar, hujan kembali berjatuhan. Suaranya menyihir napsu kami yang menjadi tak karuan. Napsu-napsu itu merasuk ke bagian-bagian tubuhku dan tubuh Arsya dengan detail.Â
Aku menggeliat seiring desahan Arsya yang terdengar memabukkan. Napsu-napsu itu juga berhasil merampas pakaian kami, melucutinya dari tubuh kami.Â
Tidak ada yang tersisa dari tubuh kami, kecuali napsu-napsu itu sendiri. Tuhan, perayaan macam apa ini? Jangan salahkanku. Ini akan membuatku ketagihan. Ah!
Napsu-napsu telah melunak. Aku dan Arsya membersihkan badan di bawah kucuran air hangat. Memeluk tubuh Arsya yang basah, sungguh memancing gairahku. Aku mengecup bibir Arsya, tak ingin semakin larut, aku memilih mengeringkan badan dan mengenakan pakaianku.
***
Sepanjang Arsya membersihkan badan, aku berdiam diri di depan cermin. Ada yang mengusik pikiranku, membawaku ke lamunan panjang dan menimbulkan sebuah tanya; setan dari tubuh siapa yang mendominasi napsu-napsu tadi? Ah, sempat-sempatnya aku memikirkan sesuatu untuk menyalahkan siapa atas perayaan bodoh ini.
"Aku lapar."
Lamunanku buyar oleh keluhan Arsya. "Makan."
"Kita tidak beli camilan apa pun sebelum ke sini. Ayo, cari makan." Arsya bergegas keluar kamar, aku mengekor di belakangnya.
Tak ada obrolan apa pun sepanjang perjalanan. Cukup hening untuk sebuah musik akustik yang berkolaborasi dengan suara hujan dari luar.Â
Sesekali Arsya mencuri kesempatan untuk sekadar menghangatkan tanganku ketika berhenti di lampu merah. Detik itu, rasa sayang dan percayaku terhadap Arsya semakin bertambah.
***
"Jadi, bagaimana?"
"Apalagi, ARSYA?" suaraku menekan pada namanya.
Dia mengacak-ngacak rambutku dengan gemas. Saat itu, aku dan Arsya sudah kembali ke kamar. Membawa banyak camilan dan beberapa air mineral setelah menghabiskan satu porsi nasi goreng. Kami duduk sejajar di atas sofa. Menonton acara televisi sambil menguras banyak camilan.
"Siap menabung lebih tekun untuk masa depan kita?" Aku mengangguk, tapi tetap fokus pada acara televisi dan camilan yang kukunyah. "Kamu dengerin aku. Ini janjiku. Kamu telah mempercayaiku sepenuhnya. Seperti yang kubilang, ini bagian dari perayaan masa depan kita. Percayalah, untuk perayaan tahun depan, akan kubuat lebih berkesan, yang tidak akan pernah kamu lupa. Aku akan menikahimu."
Pagi itu aku terbangun dari dekapan Arsya yang masih terlelap. Rasa sayangku padanya semakin berkembangbiak. Perayaan bodoh seperti semalam telah mengantarku pada perasaan yang semakin dalam.
***
Waktu mengabadikan kisah. Napsu-napsu tidak lepas dari sana. Arsya akan memenuhi janjinya untuk menikahiku. Obrolan-obrolanku dengannya tak lagi berisi sampah. Dia selalu melonggarkan waktu untuk berdebat tentang persiapan pernikahanku dengannya. Tidak ada lagi obrolan tentang bosnya, itu jauh lebih baik bagiku. Aku bahagia membayangkan sebuah pesta pernikahan dengannya.
Alam mengamini, pikirku. Di hadapanku dan Arsya, orang tua Arsya mendadak menawarkan sebuah pesta pernikahan yang mewah, yang aku dan Arsya tidak perlu lagi memikirkan apa pun untuk melancarkan itu semua. Tidak ada yang aneh, memang. Kami juga dipaksa untuk tidak menolak tawaran mereka. Rasanya seperti mendapatkan anugerah. Aku terharu dibuatnya. Tuhan, Kau memberiku mertua sebaik mereka?
***
Aku menghitung hari. Masih kurang lima belas hari menuju angka yang sudah kulingkari. Angka yang membawa sepasang orang dewasa menuju pelaminan. Sebuah perayaan masa depan yang sebenar-benarnya.
Yang sebenar-benarnya ialah ketika matahari naik ke persinggahannya, Arsya datang dengan tubuh yang lemas. Berdiri di hadapanku dengan kaki gemetar. Memelukku dengan erat, seakan tidak ingin dia lepas. Menangis hebat dan memohon ampun padaku.
Dia sangat kacau ketika menyodorkan sebuah undangan pernikahan untukku. Tepat di tanggal perayaan pesta pernikahan yang kuidam-idamkan bersamanya, rusak oleh satu nama yang tak kukenal pada undangan pernikahan itu. Arsya dengan nama perempuan yang bukan namaku.
Kakiku ikut bergetar, lemas. Aku memberinya sebuah pelukan. Pelukan terakhir --mungkin. Memintanya pulang dan membawa kembali undangan pernikahannya. Salam hangat untuk orang tuamu. Setidaknya, aku sudah lebih dulu merayakan pesta pernikahan itu bersama anak kalian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H