Mohon tunggu...
Isnani Qistiyah
Isnani Qistiyah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

mimpi jadi scriptwriter :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Pelukan dan Undangan Pernikahan

19 Maret 2021   00:07 Diperbarui: 19 Maret 2021   05:48 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, bagaimana?

Aku ingin menulikan pendengaranku saja ketika dia menanyakan hal itu. Aku kehabisan alibi untuk pertanyaan ke empat ratus sembilan puluh sembilan kalinya dengan kalimat dan intonasi yang sama. Kurasa dia pantang menyerah meskipun alibiku lebih banyak dari pertanyaan yang dia ajukan. Pasti, pertanyaan semacam itu akan sampai ke kupingku lagi sore ini.

****

Ini bukan malam Minggu, hanya hari biasa yang menyisakan pegal-pegal di sekujur badan menjelang senja. Aku sudah duduk di dalam mobil dengan seatbelt terpasang dan tidak tahu akan dibawa kemana oleh pengemudinya.

Aku enggan bertanya. Dia tampak kelelahan, aku tidak ingin menambah rasa lelahnya dengan pertanyaanku yang tidak penting. Hal yang lebih penting saat ini adalah membiarkanku tidur dan biarlah Si Pengemudi membangunkanku ketika sudah sampai di tempat tujuan. Aku terlelap di kursi samping kemudi.

"Bangun, Sayang. Sudah sampai." Aku merasakan hangat sapuan tangannya di pipiku. Si Pengemudi yang kucintai, Arsya.

Aku bertanya ada di mana, tetapi tidak ada jawaban. Arsya keluar dan membukakan pintu mobil untukku. Menggandengku. Mengawalku berjalan menuju tepian pantai. Ya, pantai dengan warna senja yang merona.

Bayangan tubuhku dan tubuh Arsya membentuk siluet yang memantul pada air pantai. Jika ada yang memotret, hasilnya akan menjadi seperti ini: sepasang kekasih, tangan perempuan menggantung di leher lelaki, tangan lelaki melingkar di pinggang perempuan, tidak ada jarak dari tubuh mereka, ombak menyapu kaki-kaki telanjang mereka, dan warna-warna senja menembus di antara celah wajah-wajah mereka saat berciuman. Romantis!

Namun bagiku, ini hanya sebuah pelukan dari sepasang sejoli yang tengah didera lelah tak berkesudahan. Menjadikan suara deburan ombak sebagai obat sementara, sisanya akan ditemukan lewat obrolan-obrolan sampah selepas pelukan ini.

"Jadi, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkan usulanku?" Pembuka yang membosankan untuk obrolan sampah di sore yang jarang sekali romantis begini.

"Aku bosan, Arsya. Tidak ada hal lain untuk obrolan kita? Pekerjaanmu di kantor, barangkali." Aku tidak yakin dengan omonganku sendiri. Mendengarkan cerita dari gedung bertingkat tempat Arsya berkarir, sama membosankannya dengan pertanyaan, jadi bagaimana? Cerita yang melulu tentang Bos yang memberinya reward setiap minggu, Bos yang tiap waktu tak terduga menawarkan kenaikan jabatan, juga cerita-cerita lain yang itu semua hanya sogokan supaya Arsya tetap tutup mulut atas perselingkuhan Si Bos dengan tukang bersih-bersih di kantor yang --menurut Arsya- lebih seksi dari sekretarisnya sendiri. Gila, memang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun