Arsya menarik napas berat, membuatnya terlihat menyedihkan. Tidak ada kalimat lanjutan dari bibirnya. Hening. Memandangiku dengan tatapan penuh harap. Meremas jemariku, seakan memaksaku untuk berkata "ya" atas usulannya.
"Iya, Arsya, kali ini kamu menang. Hmmm, bukan! Bukan! Bukan kamu yang menang, tapi setan dalam dirimu. Itu!" Ketusku. Meski begitu, segaris senyum timbul dari bibir Arsya, anehnya, sorot matanya justru meredup.
***
Mataku susah terpejam. Di dalam imajinasiku ramai akan cerita-cerita bahagia di masa depan bersama Arsya. Namun, segala obrolan sampah sore tadi membuatku kelimpungan memikirkannya.
"Serius, kamu terima usulanku?" Arsya meyakinkan. Aku mengangguk dengan sedikit penyesalan dalam hati. "Alasannya?" kejarnya lagi.
Kamu benar, Arsya, aku tidak perlu meragukanmu. Kamu berhasil meyakinkanku saat ini, meskipun sebenarnya aku seringkali kehilangan rasa percaya terhadapmu.Â
Kamu selalu meminta kehormatanku di tiap perayaan hari jadi kita. Bukan hanya itu, di waktu-waktu tertentu kamu juga meminta hal yang sama.Â
Entah setan darimana yang membujukmu demikian. Aku bersikeras menolak! Menolak! Menolak! Aku marah, tetapi dengan sikapmu yang tenang, kamu langsung meredam amarahku. Mungkin sedang ada malaikat lewat. Lalu, kamu melupakan permintaanmu sendiri. Kamu mengalah.Â
Seringkali hubungan kita ricuh karena permintaanmu itu. Hingga menjelang tahun ke enam di hubungan kita, kamu memintanya lagi.Â
Permintaanmu kali ini membuatku mempertimbangkan. Katamu, kita bukan lagi anak ingusan. Kita adalah sepasang orang dewasa yang sedang berjuang menuju masa depan.Â
Masa depanku adalah kamu, pun sebaliknya. Esok, ketika kita merayakan kebahagiaan di masa depan dengan sebuah pernikahan, kemudian melakukan hubungan intim, rasanya akan sama saja jika kita melakukannya sekarang.Â