***
Sepanjang Arsya membersihkan badan, aku berdiam diri di depan cermin. Ada yang mengusik pikiranku, membawaku ke lamunan panjang dan menimbulkan sebuah tanya; setan dari tubuh siapa yang mendominasi napsu-napsu tadi? Ah, sempat-sempatnya aku memikirkan sesuatu untuk menyalahkan siapa atas perayaan bodoh ini.
"Aku lapar."
Lamunanku buyar oleh keluhan Arsya. "Makan."
"Kita tidak beli camilan apa pun sebelum ke sini. Ayo, cari makan." Arsya bergegas keluar kamar, aku mengekor di belakangnya.
Tak ada obrolan apa pun sepanjang perjalanan. Cukup hening untuk sebuah musik akustik yang berkolaborasi dengan suara hujan dari luar.Â
Sesekali Arsya mencuri kesempatan untuk sekadar menghangatkan tanganku ketika berhenti di lampu merah. Detik itu, rasa sayang dan percayaku terhadap Arsya semakin bertambah.
***
"Jadi, bagaimana?"
"Apalagi, ARSYA?" suaraku menekan pada namanya.
Dia mengacak-ngacak rambutku dengan gemas. Saat itu, aku dan Arsya sudah kembali ke kamar. Membawa banyak camilan dan beberapa air mineral setelah menghabiskan satu porsi nasi goreng. Kami duduk sejajar di atas sofa. Menonton acara televisi sambil menguras banyak camilan.