"Siap menabung lebih tekun untuk masa depan kita?" Aku mengangguk, tapi tetap fokus pada acara televisi dan camilan yang kukunyah. "Kamu dengerin aku. Ini janjiku. Kamu telah mempercayaiku sepenuhnya. Seperti yang kubilang, ini bagian dari perayaan masa depan kita. Percayalah, untuk perayaan tahun depan, akan kubuat lebih berkesan, yang tidak akan pernah kamu lupa. Aku akan menikahimu."
Pagi itu aku terbangun dari dekapan Arsya yang masih terlelap. Rasa sayangku padanya semakin berkembangbiak. Perayaan bodoh seperti semalam telah mengantarku pada perasaan yang semakin dalam.
***
Waktu mengabadikan kisah. Napsu-napsu tidak lepas dari sana. Arsya akan memenuhi janjinya untuk menikahiku. Obrolan-obrolanku dengannya tak lagi berisi sampah. Dia selalu melonggarkan waktu untuk berdebat tentang persiapan pernikahanku dengannya. Tidak ada lagi obrolan tentang bosnya, itu jauh lebih baik bagiku. Aku bahagia membayangkan sebuah pesta pernikahan dengannya.
Alam mengamini, pikirku. Di hadapanku dan Arsya, orang tua Arsya mendadak menawarkan sebuah pesta pernikahan yang mewah, yang aku dan Arsya tidak perlu lagi memikirkan apa pun untuk melancarkan itu semua. Tidak ada yang aneh, memang. Kami juga dipaksa untuk tidak menolak tawaran mereka. Rasanya seperti mendapatkan anugerah. Aku terharu dibuatnya. Tuhan, Kau memberiku mertua sebaik mereka?
***
Aku menghitung hari. Masih kurang lima belas hari menuju angka yang sudah kulingkari. Angka yang membawa sepasang orang dewasa menuju pelaminan. Sebuah perayaan masa depan yang sebenar-benarnya.
Yang sebenar-benarnya ialah ketika matahari naik ke persinggahannya, Arsya datang dengan tubuh yang lemas. Berdiri di hadapanku dengan kaki gemetar. Memelukku dengan erat, seakan tidak ingin dia lepas. Menangis hebat dan memohon ampun padaku.
Dia sangat kacau ketika menyodorkan sebuah undangan pernikahan untukku. Tepat di tanggal perayaan pesta pernikahan yang kuidam-idamkan bersamanya, rusak oleh satu nama yang tak kukenal pada undangan pernikahan itu. Arsya dengan nama perempuan yang bukan namaku.
Kakiku ikut bergetar, lemas. Aku memberinya sebuah pelukan. Pelukan terakhir --mungkin. Memintanya pulang dan membawa kembali undangan pernikahannya. Salam hangat untuk orang tuamu. Setidaknya, aku sudah lebih dulu merayakan pesta pernikahan itu bersama anak kalian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H