Bisa dikatakan cintaku ini bagaikan hembusan angin, disaat ku merasa kepanasan hembusan angin sangat berguna, tapi disaat ku kedinginan hembusan angin amat sangat tidak berguna. Ya seperti itu lah kisah cintaku.Â
Jika orang lain pandai memainkan alunan nada cinta, tapi itu tidak buatku. Sebaliknya ku pandai membuang cinta bagaikan hembusan angin yang lewat begitu saja.Â
Saat ku menemukan orang yang pas untuk ku cintai, orang itu malah menyia-nyiakan dan menganggap spele cinta ini. Disaat ada orang yang menyayangiku namun, malah diriku sendiri yang sangat egois dan acuh terhadapnya. Tidak kah rumit kisah cinta ini? Aku saja bingung menjalaninya.Â
Jangankan untuk menjaga cinta orang lain menjaga cinta untuk diriku sendiri saja begitu sulit. Tanganku memang pandai memainkan nada-nada dalam piano, tangan ku mungkin pandai dalam merangkai rangkaian kata indah untuk dijadikan sebuah kisah, tapi tanganku tak bisa menjangkau untuk memainkan nada cinta.
 "Nay, kamu tau Fiersa Besari bukan?', Tanya temanku yang membangunkan ku seketika dari lamunanku. Naya adalah namaku, ya Nay merupakan panggilan dari teman-temanku.
"Iya aku tau dew, memang kenapa?" Tanya ku pada Dewi yang merupakan chair mate ku yang selalu ingin serba tau namun baiknya tidak ada yang bisa menandingi.
"Fiersa Besari nulis gini, (kita pernah muda, bodoh, dan tidak berani menyatakan rasa. Hingga akhirnya kau bertanya Lho, kenapa engga bilang dari dulu? Ketika semuanya sudah terlambat)." Ucap dewi yang membacakan salah satu quotes terkenal di salah satu media sosial yang tengah digandrungi dan disukai anak-anak milenials.
"Lah, terus apa hubungannya dengan ku dew? Ngaco deh kamu ini!" Jawabku dengan nada aga sedikit terganggu.
"Nay, aku memang ga terlalu pinter dalam masalah mata kuliah. Tapi aku terlalu pinter untuk menebak sebuah rasa, apalagi rasa yang terpendam, aku bisa membacanya. Hati-hati loh sebelum menyesal." Ucapnya yang semakin membuatku tersulut dan kesal terhadap Dewi.
"Loh, rasa apa dan terhadap siapa. Kamu ini so tau banget sih Dew!" Tegas ku pada Dewi yang semakin membuatku geram terhadapnya.
"Udahlah Nay, aku tau kamu belum bisa pindah hati dari yang 6 tahun itu kan? Nay buka deh matamu, dia itu ngga jelas, dia selalu membuat mu menunggu dan memberi harapan yang tidak pernah pasti. Bukalah hatimu masa depan masih panjang dan begitu banyak orang yang ingin mencoba dekat denganmu tapi kamu seolah menutup rapat hatimu karena alasan kamu kecewa?" dengan lantangnya Dewi seketika membuatku berpikir apa memang aku menutup hati.