Mohon tunggu...
Iskandar Mutalib
Iskandar Mutalib Mohon Tunggu... Penulis - Pewarta

Pengabdi Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Lurah Kobong PKI"

18 Desember 2018   14:36 Diperbarui: 18 Desember 2018   15:14 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERLAHAN kabut turun menutup lembah tempat insan muda mudi belajar mengenal sekelumit ajaran Islam. Dinginnya merasuk hingga ke dalam tulang. Membuai setiap insan yang tengah bermimpi. 

Ranjang berukuran kecil menjadi tempat paling sempurna untuk merebahkan diri mengusir lelah setelah seharian menjalankan aktivitas. Walaupun dipan tersebut berukuran kecil, namun dipan tersebut mampu menina bobokan empat manusia setiap malam-malamnya. Tidur berjejal layaknya ikan asin yang tengah di jemur. 

Seperti hari-hari biasanya, Kang Toyib, bertugas membangunkan para santri untuk menjalankan ibadah sholat tahajud. Ia tak segan-segan menyiram air satu ember jika orang yang dibangunkan tak kunjung berdiri dan pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. 

Amri dan Harbudhi adalah orang yang paling sering jadi korban keganasan air satu ember Kang Toyib. Namun, dua karib itu selalu mempunyai segudang alasan untuk lolos dari hukuman. 

Alasan paling klasik adalah patroli. Tugas tersebut diserahkan Ustadz Muflih kepada para santri karena sumber daya keamanan terbatas. Pondok hanya mampu membiayai satu petugas jaga. Dan, itu diserahkan kepada Kang Toyib. 

Itu juga yang dijadikan alasan Amri dan Harbudhi jika dipanggil Ustadz  Muflih. Sayangnya, kali ini dua begundal itu tidak akan bisa lolos dari hukuman karena seluruh petugas jaga malam itu, tidak ada satupun yang berhalangan. 

Pagi setelah menjalankan ibadah sholat subuh, Ustad Muflih yang biasa mengajarkan kitab Jurumiah meminta para santri yang hadir tidak keluar masjid. 

Dia bertanya kepada Lurah Pondok, Ustadz Makmun, siapa tugas jaga hari ini dan siapa saja santri yang tidak menjalankan sholat tahajud. Bahkan, tidak menjalankan ibadah sholat subuh berjamaah. 

"Siapa saja Mun," katanya.

Ustadz Makmun melihat catatan yang diberikan Kang Toyib sebelum sholat subuh. Petugas jaga hari ini Ustadz, kata Makmun, Thoriq, Kusnadi, Wahyudi, Agus Irsyad, Nuran dan Abdul Ra'uf. 

"Seluruhnya masih ada di dalam masjid ini ustadz," katanya.

Untuk mereka yang tidak menjalankan kewajiban sholat tahajud sekaligus sholat subuh, kata Makmun lagi, Amri, Harbudhi, Asep, Deden dan Cecep. 

"Khusus untuk Cecep, laporannya meriang. Kalau yang lainnya kembali tidur setelah di bangunin," tuturnya. 

Ustadz Muflih minta Mamun mengumpulkan santri yang tidak mematuhi peraturan di pinggir Sungai Cicatih. 

"Iya Ustadz," katanya sambil bergegas keluar dari dalam masjid. 

Ruang yang dituju Lurah Mamun pertama kali adalah kobong Harbudhi dan Amri. Mereka berdua masih tidur pulas. 

"Bud, bangun. Shalat," ucap Mamun dengan suara lembut sambil menggoyangkan kaki Harbudhi. 

Merasa tidurnya terganggu, Harbudhi bangun dan memaki Ustadz Mamun. 

"Jangan mentang-mentang maneh lurah. Sial, jangan ganggu," katanya.

Lurah Mamun tersenyum. "Ayoh sholat. Ditungguan Ustadz Muflih ti masjid," katanya.

Harbudhi membangunkan Amri. Mereka berdua berkoalisi menolak Ustad Mamun. 

"Kaya PKI ente. Nyuruh orang melulu. Urusan sholat, urusan pribadi," ucap Amri kesal. 

Ia mendorong bahu Lurah Mamun hingga terjungkal di atas dipan. Lurah Mamun tetap tersenyum.

"Ayoh, shalat," katanya tetap tersenyum. 

Merasa diledek Lurah Mamun, Harbudhi langsung mengarahkan bogem mentah ke arah wajah Mamun. 

Yang diserang langsung mengelak, seraya mengarahkan pukulan balik ke perut Harbudhi. Buk..., Harbudhi merasakan sakit luar biasa. Nafasnya sesak. 

Amri yang tak menyangka Harbudhi dengan mudah dilumpuhkan Lurah Mamun, diam. Namun, tangan Ustadz Mamun telah mengarah ke mulutnya. Plak..., 

"Ayo kalian berdua sholat di masjid," katanya. 

Harbudhi dan Amri akhirnya hanya bisa pasrah mengikuti langkah Ustadz Mamun menuju masjid. 

Sedangkan Asep dan Deden berlarian turun ke masjid. Di hadapan Ustadz Muflih, kedua orang itu mangaku bangun kesiangan. Tidak mendengar suara kamar di ketok Kang Toyib. Mereka siap menjalankan hukuman. 

"Sholat subuh, jangan lupa qunut. Imamnya Asep," kata Ustadz. 

Deden, Asep, Amri dan Harbudhi bergegas ke kamar mandi untuk wudhu. Usai sholat, Ustadz Muflih, meminta mereka berempat merapat. 

"Inilah generasi santri yang gagal paham nilai keislaman. Islam bukan agama paksaan. Hanya saja kalian dititipkan orangtua kalian di pondok ini untuk belajar ajaran Islam," katanya. 

Dia menambahkan, apa yang dilakukan Harbudhi dan Amri sudah sangat keterlaluan. Menggunakan kekerasan hanya karena diajak menuju jalan Allah. 

"Kalau kalian tidak mau patuh terhadap aturan dan ingin tidur-tiduran saja, jangan di sini. Di pondok ini tempat santri belajar ajaran Islam," tuturnya.

Kata Ustadz Muflih, memaki-maki pemimpin dengan sebutan PKI perbuatan tercela. Justru, ia dan Lurah Mamun akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWT di hari akhir nanti. 

"Mempertanggungjawabkan ilmu kami, tempat ini, ajaran yang kami berikan ke Santri, etika berislam. Menyebut orang lain PKI, sementara yang disebut tidak bisa menjalankan sholat subuh berjamaah, sama saja dengan PKI," katanya. 

Bila kelak Amri dan Harbudhi menjadi pemimpin, kata Ustadz Muflih, maka akan dengan mudah mengatakan seseorang itu PKI. 

"Sedangkan mereka berdua jarang sholat dan mencintai materialistis, menumpuk harta," katanya. 

Ustadz Muflih meminta peristiwa kelam ini dijadikan pelajaran sangat berharga. Tidak boleh lagi orang ataupun calon pemimpin menghina, mem-PKI kan orang lain, mengkafir-kafirkan orang lain, menganggap diri mereka paling benar, menjadikan sesama ciptaan Allah SWT lebih hina dari kelompok mereka.

"Satri di pondok ini tidak boleh. Amri dan Harbudhi, ini peringatan terakhir bagi kalian. Jika masih terlontar bahasa seperti itu kalian akan dikeluarkan," katanya.

Ustadz Muflih mengingatkan agar podok ini tidak boleh tersentuh politik aliran. Kalian yang sudah memiliki hak pilih dapat menjalankan siasat politiknya saat di TPS. Dukung pemimpin yang bekerja sepenuh hati.

"Tak boleh ada politik aliran. Pilih pemimpin yang memang di sisinya terdapat seorang ulama yang baik dan selalu mengingatkan presiden untuk selalu memperhatikan warga negara," katanya. 

Ia menambahkan, bukan pemimpin yang belum teruji. Bukan pemimpin yang meninggalkan tempat mulia sebagai wakil gubernur kemudian nafsunya menginginkan jabatan lain. 

"Tolak pemimpin seperti itu apapun alasannya," kata dia.

Sebaiknya semua diecamkan dan diresapi. Jadikan sebagai masukan berguna di kehidupan mendatang. 

"Ayoh, empat orang yang dihadapan saya nyebur ke Sungai Cicatih, berendam di sana, jangan coba-coba naik sebelum mendapat izin," katanya.

Harbudhi, Amri, Asep dan Deden saling pandang. Kabut masih menutup sungai tersebut. Senang tidak senang Meraka harus menjalankan hukuman. Sedangkan Santri yang lain kembali ke kelas masing-masing untuk belajar kitab kuning. Tabik  

Limo, Kota Depok, 19 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun