Mohon tunggu...
Iwan Dani
Iwan Dani Mohon Tunggu... Freelancer - Music for humanity

Untuk segala sesuatu ada waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musik Kontemporer dan Tanggung Jawab Etikal dalam Perspektif Agamben tentang Kontemporer

15 November 2019   14:08 Diperbarui: 15 November 2019   14:21 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf Perancis keturunan Yahudi. Lahir pada tahun 1906 di Lithuania. Selama Perang Dunia I, keluarganya terpaksa mengungsi ke Ukraina namun akhirnya pindah kembali ke Lithuania. Pada tahun 1923, Levinas melanjutkan pendidikan di Universitas Strasbourg, Prancis dan akhirnya memutuskan menjadi warga negara Prancis pada tahun 1939.

Pada Perang Dunia II, Prancis menyatakan perang terhadap Jerman sehingga Jerman menyerbu Prancis pada tahun 1940. Levinas menjadi salah satu dari jutaan orang keturunan Yahudi yang ditahan dan disiksa pasukan Nazi Jerman di kamp konsentrasi. Selama di kamp konsentrasi, dia menyaksikan betapa para tahanan keturunan Yahudi diperlakukan dengan bengis dan kejam oleh pasukan Nazi termasuk seluruh keluarganya di Lithuania menjadi korban kekejaman Nazi. Pengalaman traumatik ini sangat membekas di dalam diri Levinas dan menjadi landasan pemikiran Levinas tentang "The Other" (Sobon, 2018).

 Levinas mengemukakan kritik tajam atas tradisi filsafat Barat. Menurut Levinas filsafat Barat lebih berpangkal pada ego sebagai pusat. Titik pangkal filsafat Barat terpancang kuat sejak Ren Descrates memberikan pernyataan yang sangat terkenal : cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Dalam pemahaman ini, Ego, yakni diriku, tidak hanya menjadi subyek dari cogito namun menjadi pusat dan akhir dari dunia. Keberadaan segala sesuatu di luar "aku" menjadi tidak berarti ketika "aku" berpikir mereka tidak ada. Inilah totalitas filsafat Barat yang selalu menempatkan ego sebagai pusat. (Sobon, 2018)

Levinas mencoba mendobrak totalitas dengan konsepnya tentang "Yang Tak Terhingga" (Infinity). "Yang Tak Terhingga" itu adalah the Other ("Orang Lain"). Inti dari konsep ini adalah, ketika "aku" berjumpa dengan "Orang Lain" muka-dengan-muka (face to face) maka runtuhlah totalitas "aku" di hadapan "Orang Lain" yang tak terhingga itu.

If totality can not be constituted it is because Infinity does not permit itself to be integrated. It is not the insufficiency of the I that prevents totalization, but The Infinity of the Other. (Levinas, 1979 h.80)

 Levinas memandang perjumpaan "aku" dengan Orang Lain yang Tak Terhingga itu membuat "aku" menjadi tak berdaya. Ketika "aku" berjumpa dengan "wajah" orang lain maka "aku" menjadi hamba baginya karena "aku" melihat dia yang transenden menyerupai Tuhan. Oleh karena itu setiap perjumpaan dengan "Yang Lain" akan menimbulkan tanggung jawab etikal. Tanggung jawab etikal yang dimaksud di sini sebuah tanggung jawab yang otomatis muncul. Bahwa "aku" bertanggung jawab atas keselamatan "Orang Lain" yang wajahnya kujumpai.

Berangkat dari pemikiran Levinas tentang tanggung jawab etikal, Jeff Warren (2014) mengajukan sebuah thesis bahwa musik juga memiliki tanggung jawab etikal. Argumen yang dia ajukan adalah demikian : 

  • Musik adalah ciptaan manusia oleh karena itu ketika musik "didengar" atau "dialami" oleh seseorang, yakni "Orang Lain", maka terciptalah perjumpaan "face to face" sebagaimana layaknya "aku" berjumpa muka dengan muka dengan orang lain.
  • Sejalan dengan pemikiran Levinas maka perjumpaan itu menimbulkan tanggung jawab etikal yang harus dipenuhi "musik" kepada "Orang Lain" yang menjadi pendengarnya.

Bagaimana tanggung jawab etikal itu bisa muncul dalam musik ? Untuk menjelaskan ini Warren melakukan pendekatan melalui pemaknaan musik (musical meaning) yakni dengan cara bagaimana musik bermakna bagi kita.

Menurut Warren, pemaknaan musik berakar pada "pengalaman musikal" (musical experience).

"Pengalaman musikal" adalah pengalaman yang kita dapatkan ketika kita : mendengarkan musik, memainkan musik, menari dengan musik atau menciptakan musik. Pemaknaan musik seseorang berbeda dengan orang lain. Walaupun misalnya ada dua orang yang mendengarkan sebuah lagu yang sama secara bersamaan belum tentu mereka menangkap makna yang sama karena pemaknaan musik ditentukan oleh pengalaman hidup mereka sebelumnya yang mempengaruhi pengalaman musikal mereka.

Pemaknaan musik juga sifatnya interpesonal. Karena pemaknaan musik berakar pada pengalaman musikal dan pengalaman musikal kita dipengaruhi oleh orang lain maka di situlah muncul implikasi etikal. Ketika pemaknaan musik diartikulasikan kepada orang lain saat itu pula terjadi kontak dengan orang lain. Dengan demikian setiap pemaknaan musik adalah interpersonal. Relasi interpersonal adalah basis dari tanggung jawab etikal sepanjang dipahami sebagai tanggung jawab yang timbul dari perjumpaan dengan orang lain.

Muara dari pemikiran Warren adalah bagaimana relasi antar manusia menjadi pusat dari pengalaman musikal. Pengalaman musikal tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang lain. Warren mengkritisi budaya industri yang menjadikan musik hanyalah sebuah komoditas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun